Monday, November 7, 2016

Pemberian layanan Informed Consent pada Setting Instalasi Gawat Darurat : Peran Hukum dalam menyelesaikan Sengketa



Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan salah satu unit di rumah sakit yang memberikan pelayanan kepada penderita gawat darurat dan merupakan bagian dari rangkaian upaya penganggulangan penderita gawat darurat yang perlu diorganisir. Instalasi Gawat Darurat harus dapat Mencegah kematian dan cacat pada penderita gawat darurat hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya (Departemen Kesehatan RI, 1992). Di dalam ruangan IGD, seringkali petugas berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada kondisi Gawat Darurat, tindakan penyelamat secara cepat menjadi baku standart pelayanan di IGD manapun.
Dalam keadaan tertentu, pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent sebelum pelayanan terhadap pasien tidak selalu mudah untuk dijalankan. Hal ini dirasakan terutama apabila pasien korban kecelakaan lalu lintas dalam keadaan tidak sadar dibawa ke Unit Gawat Darurat. Keadaannya sudah sangat gawat dan tidak ada waktu lagi untuk mencari atau menghubungi anggota keluarganya terlebih dahulu untuk minta Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent. Akibatnya dalam keadaan ini dokter harus segera mengambil tindakan penyelamatan sesegera mungkin bagi pasien. Dilakukannya tindakan medik ini karena semata-semata untuk menolong jiwa pasien. Padahal, langkah untuk segera menyelamatkan jiwa pasien adalah lebih tinggi kepentingannya daripada masalah memperoleh Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent itu sendiri (Poernomo B, 2001).

Keadaan ini pada akhirnya seringkali menjadi dilema di kalangan petugas kesehatan sendiri. Secara hukum, mereka menjadi rentan tuntutan apabila tidak mempunyai informed consent sebelum melakukan tindakan. Keadaan tidak menjadi lebih baik juga sebaliknya, apabila petugas menunggu adanya keluarga untuk memberikan informed consent dan pasien tidak tertolong karena penanganan yang terlambat. Penggunaan informed consent di setting gawat darurat memerlukan aturan yang berbeda dengan ruangan lainnya.



Informed Consent
Selama lebih dari 40 tahun sejak pertama kali dikemukakan dalam sebuah kasus hukum di Amerika Serikat tepatnya pada tahun 1957, konsep dari informed consent telah menjadi topik utama dalam disiplin ilmu hukum kesehatan dan bioetik yang tengah berkembang saat ini. Dengan berbagai macam penelitian dari Universitas-Universitas, topik ini berevolusi dan berinterprestasi. Informed consent dalam penatalaksanaan medis dan lawannya, penolakan penatalaksanaan medis, telah diakui sebagai aspek legal dan hak moral yang penting (Moskop, 1999). Pelayanan medis yang modern dan profesional memberikan pilihan kepada pasien melalui informed consent sebagai prinsip dasar yang benar untuk pasien. Dengan Informed consent, pasien/keluarga berhak menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilakukan pada dirinya. Pelayanan informed consent ini sebagai bentuk pelayanan yang profesional dari tenaga kesehatan akan pentingnya penyampaian informasi kepada pasien dan keluarga sebelum mengambil keputusan (Amri, 1997).  Informasi atau penjelasan ini  wajib diberikan dokter secara langsung kepada pasien baik diminta ataupun tidak oleh pasien, kecuali pasien memang menolak diberi penjelasan dengan alasan untuk ketenangan jiwa. Hal ini berkaitan dengan masalah pertimbangan satu dan lain alasan menghadapi keadaan fisik/mental/sikap dari akibat ketakutan/kegoncangan jiwa pasien (Purnomo B, 2001).
Secara harafiah, Pengertian informed consent berasal dari kata “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan, dan kata “consent” yang berarti telah memberikan persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud informed consent ini adanya persetujuan yang timbul dari informasi yang dianggap jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya sehubungan dengan keperluan diagnosa dan atau terapi kesehatan (Amri, 1997).
Pernyataan mengenai informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran sendiri telah dinyatakan secara jelas dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 290/Menkes/Per/III/2008. Di dalam ketentuan itu dinyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Pasal 1 ayat 3 tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
Informed consent berisikan dua hak pasien yang essensiil dalam relasinya dengan dokter. Hak tersebut adalah hak atas informasi dan hak atas persetujuan atau consent I( Karbala, 1993).  Penjelasan informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan pada pasien harus diberikan secara jelas dan diberikan langsung pada pasien baik pasein meminta atau tidak (Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 7 ayat (1)).  Mengenai hak atas persetujuan terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 2, “Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Tujuan adanya Informed Consent ini sendiri adalah untuk melindungi, baik untuk pasien sendiri maupun untuk petugas kesehatan. Amir A dan Muchtar R, (1987) menyatakan bahwa dengan adanya surat izin tindakan medis maka dokter yang melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medis merasa lebih aman terhadap kemungkinan tuntutan penderita maupun keluarga terhadap hal-hal yang tidak diingini. Sedangkan selanjutnya  Poernomo B, (2001) mengatakan Persetujuan Tindakan Kedokteran merupakan bentuk perlindungan terhadap pasien dari segala tindakan medik yang mungkin tidak diinginkannya.
Tujuan dari Informed Consent ini sendiri selaras dengan UU 29/2004 Pasal 52 yang berisi tentang Hak pasien yaitu : 1) Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis;   2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; 3) Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis;  4) Menolak tindakan rekam medis; 5) Mendapatkan isi rekam medis. Dan  Secara yuridis hak yang terdapat pada pasien dalam doktrin informed consent yaitu: 1) Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya. 2) Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang diajukannya. 3) Hak untuk memilih tindakan alternatif jika ada. 4) Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya.
Dengan telah diinformasikannya tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter, maka selanjutnya pasien dapat mempergunakan haknya untuk memilih, menyetujui atau menolak tindakan medik termasuk. Jadi pada hakekatnya hak atas Persetujuan tindakan kedokteran ini merupakan pelaksanaan hak dasar atas pelayanan kesehatan (the riht to health care) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination) yang keduannya adalah hak pasien atas kesehatan yang harus diakui dan dihormati.
Setelah pasien diberi penjelasan maka keputusan untuk menerima atau menolak tindakan perawatan yang ditawarkan dokter mutlak berada ditangan pasien itu sendiri. Hak untuk menolak perawatan ini disebut dengan Informed refusal, namun dalam keadaan seperti ini dokter juga harus menerangkan secara rinci akibat dari penolakan tersebut. Jika pasien tetap menolak perawatan makapasien harus menandatangani formulir surat penolakan tindakan medis yang sudah disiapkan oleh rumah sakit.


Informed consent di UGD
Pada saat pasien mendatangi dokter untuk meminta bantuan perawatan terhadap keluhan yang dirasakan, maka sejak saat itu terjadi hubungan antara dua pihak yang berdasar atas saling percaya (Samil RS, 2001). Poernomo B, (2001) menyatakan perlidungan terhadap tenaga kesehatan atau dokter yang melakukan tindakan medik tetapi menghadapi akibat yang tidak terduga serta dianggap merugikan pihak lain, maka tindakan medik yang bermasalah itu memperoleh perlindungan berdasarkan “risk of treatment” dan “eror of judgement”. Peristiwa “risk of treatment” adalah kejadian yang tidak dapat dihindarkan walupun sudah berusaha pecegahan sedapat mungkin dan bertidak dengan hati-hati risiko tersebut. Peristiwa “ error of judgement”adalah sebagai manusia tidak akan terhindari dari kesalahan yang wajar , maka bisa saja diagnosa atau terapi yang ditegakkan ternyata keliru dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian tidak ada seorangpun yang bisa menjamin hasil akhir dari tindakan medis yang diberikan seorang dokter kepada pasien.
Sementara itu, Soedjatmiko menyatakan bahwa, melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan kedokteran merupakan salah satu keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan.  Dalam hal dokter tidak memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar profesi, dan kemudian mengakibatkan cacat atau meninggalnya pasien, maka dokter ini telah melakukan pelanggaran terhadap hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang manusiawi tersebut, sehingga pasien berhak menuntut kepada dokter yang bersangkutan.
Persetujuan secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan kedokteran yang tidak mengandung resiko tinggi. Umumnya disebutkan bahwa contoh tindakan yang berisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau tindakan bedah yang secara langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh. Persetujuan tertulis dibutuhkan pada keadaan sebagai berikut: 1) Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna. 2) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi. 3) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien. 4) Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian (Tim Penyusun Konsil Kedokteran, Op.Cit, 2006).
Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat tanpa pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan biasa atau sudah diketahui umum. Misalnya pasien yang datang ke praktek lalu dokter melakukan pemeriksaan dasar seperti pemeriksaan tekanan darah dan palpasi jantung secara umum maka secara tersirat pasien sudah menyetujui apa yang dilakukan oleh dokter. Tindakan ini dianggap layak dilakukan dokter walaupun tanda memberikan informasi sebelumnya.
Juga dalam keadaan pasien yang membutuhkan perawatan ataupun tindakan medis dengan segera misalnya pasien dalam keadaan tidak sadar sementara situasi gawat dan darurat maka dokter dapat mengambil tindakan segera walaupun tidak memberikan penjelasan ataupun informasi kepada pasien ataupun keluarganya karena dalam hal ini yang dibicarakan adalah waktu. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam PerMenKes No. 585 tahun 1989 pasal 11 yang berbunyi “Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medis segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun”.
Tapi seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan untuk dijelaskan secara lebih detail apakah yang dimaksud dengan keadaan Gawat Darurat. Gawat darurat terdiri dari dua pernyataan yaitu Gawat dan Darurat. Gawat berarti ada ancaman terhadap nyawa seseorang. Sedangkan Darurat berarti pasien memerlukan penanganan yang segera. Sehingga arti kata gawat darurat adalah pasien yang memiliki status kesehatan yang memiliki ancaman terhadap nyawanya dan diperlukan penanganan yang segera. Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan dimana : a). Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin) b). Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda c). Suatu tindakan harus segera diambil d. Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter – pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari keduabelah pihak juga tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme (Herkutanto,2007).
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat (Mancini MR, 1981). Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah (Mancini MR, 1981) : 1). Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku. 2). Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong (Mancini, 1981).
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause) (Holder AR, 1972). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.  Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula (Soekanto S, 1987).
Komunikasi yang baik dengan memberikan informasi mengenai alternati pengobatan dapat dilakukan sehingga pasien memiliki pilihan yang dapat mereka setujui seringkali menjadi komponen penting dari hubungan profesional dengan pasien. Meskipun informed consent penting, kewajiban untuk mendapatkan informed consent dari pasien untuk tindakan tidak menjadi sesuatu yang absolut. Beberapa pengecualian biasanya dikenali dan dapat diterima. Salah satu pengecualian itu terkait langsung dengan kondisi gawat darurat. Berdasarkan kondisi yang gawat darurat ini, jika kemudian perawatan yang segera diperluka untuk mencegah kematian atau bahaya yang serius untuk pasien, maka penatalaksanaan ini dapat dilakukan tanpa adanya informed consent. Tapi pengecualian ini juga jangan sampai menjadi sebuah paradigma yang salah. Dalam sebuah penelitian kepada lebih dari 6000 kunjungan di US emergency departments (EDs), hampir 49% kunjungan yang ditangani ternyata bukan merupakan kondisi darurat, sehingga pengecualian kondisi gawat darurat untuk mendapatkan informed consent dalam hal ini tidak berlaku.

Baca Juga: MANAJEMEN BENCANA MENGGUNAKAN MODEL EKOLOGI

Peran Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan/Medis
Sebagai mahluk monodualisme, manusia harus selalu menjaga keseimbangan antara dirinya sebagai individu dan mahluk sosial. Fenomena sosial yang terjadi saat ini telah merubah peradaban manusia pada penghargaan diri atau pengakuan otoritas individu. Dampak dari kebutuhan akan pengakuan terebut adalah timbulnya konflik yang bisa muncul kapan saja dan dimana saja. Kapasitas konflik dimulai dari tingkat pribadi, keluarga hingga masyarakat atau bahkan tingkat negara. Konlik tentu tidak menguntungkan  dari aspek budaya maupun kehidupan bermasyarakat, karena itulah sedapat mungkin dicarikan solusinya (Indra Bastian, Suryono, 2011).
Arti kata sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan atau dapat juga diartikan sebagai pertikaian atau perselisihan. Sengketa dalam pengertian luas adalah hal yang lumrah dalam kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau lebih berinteraksi pada peristiwa atau situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa atau situasi tersebut. Jadi sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah mencapai eskalasi tertentu atau mengemuka. Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidak-jelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005)
Sengketa medis dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik. Sebenarnya dari asal katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi kesehatan saja tetapi juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai digunakan di luar negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi kesehatan. Pengertian malpraktik adalah any professional misconduct or unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct (Black’s Law Dictionary, 2005). Pemahaman malpraktik sampai sekarang masih belum seragam. Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum), penanganan dan penyelesaian masalah malpraktik juga menjadi tidak pasti. Masalah tersebut ditambah dengan belum adanya (dan hampir tidak mungkin dilakukan) standarisasi standar pelayanan profesi kesehatan. Hal itu disebabkan masalah kesehatan amat kompleks, mulai dari dampak penerapan pelayanan kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda sampai dengan beragamnya teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan setiap komunitas dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Albert, 2009).
Pola hubungan dokter-pasien yang berubah dari tipe patrenalistik menjadi ke arah hubungan yang lebih simetris menjadikan munculnya berbagi perbedaan kepentingan para pihak. Dokter yang masih konvensional (patron-client) menganggap bahwa pasien yang datang ke klinik atau tempat praktiknya adalah orang yang membutuhkan profesinya dan masih memposisikan pasien sebagai pihak yang lemah, sedangkan dokter menganggap dirinya pada posisi yang tinggi dan harus selalu dituruti. Akibatnya, dokter tidak membuka kesempatan bagi pasien untuk bertanya, tidak memberikan alternatif perawatan penyakitnya dan akdang lebih parah menganggap pasien sebagai benda mati (Indra Bastian, Suryono, 2011).
Sumber Konflik dalam pelayanan kesehatan dapat bersumber dari empat aspek utama yaitu permasalahan hubungan, permasalahan data, permasalahan struktural dan permasalahan perbedaan nilai. Yang termasuk dalam permasalahan hubungan adalah adanya emosi yang kuat, mispersepsi, komunikasi yang buruk, perilaku negatif yang diulang-ulang. Yang termasuk kedalam permasalah data adalah kurangnya informasi, perbedaan pandangan tentang apa yang dibutuhkan, dan perbedaan interpretasi dat. Yang termasuk dalam permasalagan struktural adalah sumber daya, waktu, faktor geografis, kekuatan/kewenangan dan pengambilan keputusan. Sedangkan permasalah perbedaan nilai biasanya terkait dengan budaya dan norma daerah setempat.  

Regulasi penyelesaian Sengketa
Masalah hak dan kewajiban sering kurang dipahami sehingga ketika pasien tidak sembuh atau pelayanannya dianggap kurang memuaskan, muncul tuduhan dokter melakukan malpraktik atau RS dianggap menipu. Sarana Pelayanan Kesehatan lebih ngotot dalam hal menuntut hak dan kadang lupa melaksanakan kewajibannya. Di lain pihak, pasien kadang tidak dapat memenuhi kewajiban seperti pembayaran biaya pengobatan. Masalah tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU No.29 tahun 2004 pasal 50-53. Pasien sebaiknya mengerti bahwa haknya adalah untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping, resiko, komplikasi dan lain halnya. Oleh karena itulah rekam medis sebenarnya milik pasien dan pasien berhak untuk meminta salinannya. Pasien juga di lain pihak berkewajiban untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya, mematuhi nasihat atau anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di SPK, dan membayar semua biaya pelayanan kesehatan.  
Bila ada masalah diantera kedua-belah pihak, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak demi kebaikan bersama. Pasien bisa mengadu ke lembaga profesi yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran/Gigi (MKEK/GI). Seorang dokter dikatakan melanggar etika apabila melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan mutu profesional. Dalam bidang Kesehatan, melanggar etika merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral serta nilai dan kewajiban yang meminta diambilnya tindakan berupa teguran atau skorsAdapun untuk masalah yang berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter didalam praktiknya, pasisen dapat mengadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat, sarjana hukum dan dokter.  
Konsep etikolegal merupakan sebuah pandangan yang saling mempengaruhi antara etika dan hukum. Paradigma etikolegal adalah cara berpikir bahwa dalam pelayanan kedokteran dan kesehatan, hukum merupakan kristalisasi dari etik, sehingga pembentukan dan penerapannya tidak boleh mengesampingkan etika karena masih merupakan suatu proses yang berkesinambungan dengan hukum. Konsep etikolegal memandang perlunya pencermatan secara profesional atas setiap pengaduan sengketa medis, khususnya untuk wilayah etis yang secara proesional harus diselesaikan sendiri melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran/Gigi (MKEK/GI) dan wilayah hukum yang mengacu pada sistem perundangan yang berlaku di negara republik indonesia. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan sebuah Konsil Kedokteran yang antara lain bertugas untuk mengawasi, memproses, dan menyelenggarakan pengadilan sengketa medis untuk melindungi pasien dan dokter dan salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konlik. Di samping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian dan rekayasa sosial.
Untuk mengetahui apakah profesi dokter dan bidang kesehatan lainnya merupakan pelaku usaha atau bukan maka kita harus melihat UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Black’s Law Dictionary, dan WTO/GATS bidang kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan). Black law dictionary menyatakan bahwa business (kegaitan usaha dalam bidang ekonomi) meliputi employment, occupation, proffession, or commerial activity engaged in/or gain or livelihood (segala kegiatan untuk mendapatkan keuntungan/mata pencaharian). Keputusan menteri kesehatan RI no.756/MENKES/SK/VI/2004 tentang persiapan liberasi perdagangan dan jasa dibidang kesehatan, berarti UU no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juga dapat diberlakukan pada bidang kesehatan.

Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dalam proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi (pengadilan) dan non litigasi/ konsensual/non-ajudikasi. Kita semua dapat memahami bahwa proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu. Karena sistem pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah. Sementara itu kritik  tajam terhadap lembaga peradilan dalam menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi dimana-mana. Bahkan muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair)7
Alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya telah lama dikenal dan digunakan masyarakat indonesia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Masyarakat indonesia mempunyai basis kultural yang dalam banyak hal, lebih suka musyawarah langsung diantara mereka yang bersengketa untuk mufakat. Jika terjadi kebuntuan, barulah mereka minta bantuan pihak lain (Kepala desa, kepa suku, ketua RT dan lainnya) (Jonathan, 2010)
Berdasarkan hal-hal di atas muncul ide untuk menyelesaikan sengketa dugaan malpraktik tersebut secara win-win solution, salah satunya adalah dengan mediasi. Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian masalah. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan dengan menggunakan mediator yang telah mempunyai sertifikat mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Dengan ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, telah terjadi perubahan fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan hukum dan keadilan, sekarang menampakkan diri sebagai lembaga yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Konsideran yang mendasari sehingga ditetapkannya Perma Nomor 01 Tahun 2008 adalah: 1. Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihakmenemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. 2. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) 3. Hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan negeri 4. Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang mahkamah agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.


Mediasi dalam Sengketa Medis
Profesi kedokteran merupakan profesi tertua di dunia. Profesi kedokteran juga merupakan profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan. Hubungan dokter pasien pada dasarnya dilandasi kepercayaan. Walaupun masih memerlukan kajian yang lebih spesifik, ketidakpercayaan kepada dokter ditandai dengan mempertanyakan pengetahuan, kemampuan, perilaku dan manajemen pasien dari si dokter. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa seringkali dokter dituntut pasien dengan hal-hal yang tidak berhubungan sama sekali dengan kualitas perawatan kesehatan yang diberikan dokter. Perubahan terminologi dari pasien ke konsumen atau klien mentransformasi perubahan konsep hubungan dokter pasien ke konsep hubungan “jasa pelayanan.” Ironisnya seringkali hubungan itu tidak meletakkan kepentingan yang terbaik untuk pasien sebagai kepentingan utama oleh karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengetahuan antara kedua belah pihak. Perkembangan ketersediaan informasi kesehatan melalui berbagai media turut mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh dokter. Selain itu juga harus dipahami bahwa ilmu kedokteran tidaklah menjanjikan hasil melainkan upaya maksimal yang dapat dilakukan (inspanning verbintennis). Lebih jauh akibat pengaruh intelektual dekonstruksionis yang akarnya terletak pada pengertian good dalam perspektif pasien mempengaruhi otonomi profesi. Dahulu good atau benefit merupakan domain para ahli pengobatan (dokter) dalam situasi paternalistik. Ternyata sejalan dengan perkembangan zaman pengertian good tetap dalam kerangka “berbuat baik” dalam konteks dokter berubah menjadi benefit pasien dengan mempertimbangkan keputusan dan harapan pasien itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas sebenarnya proses mediasi merupakan upaya yang tepat dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali dalam proses pidana murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan rahasia kedokteran, aborsi serta kelalaian berat, keterangan palsu, penipuan dan lain-lain. Penyelesaian melalui jalur litigasi akan merugikan kedua belah pihak.

3. Penutup
Pengertian informed consent berasal dari kata “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan, dan kata “consent” yang berarti telah memberikan persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud informed consent ini adanya persetujuan yang timbul dari informasi yang dianggap jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya sehubungan dengan keperluan diagnosa dan atau terapi kesehatan (Amri, 1997). Dalam keadaan tertentu, pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent sebelum pelayanan terhadap pasien tidak selalu mudah untuk dijalankan. Hal ini dirasakan terutama apabila pasien korban kecelakaan lalu lintas dalam keadaan tidak sadar dibawa ke Unit Gawat Darurat. Keadaannya sudah sangat gawat dan tidak ada waktu lagi untuk mencari atau menghubungi anggota keluarganya terlebih dahulu untuk minta Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent. Akibatnya dalam keadaan ini dokter harus segera mengambil tindakan penyelamatan sesegera mungkin bagi pasien. Dilakukannya tindakan medik ini karena semata-semata untuk menolong jiwa pasien. Padahal, langkah untuk segera menyelamatkan jiwa pasien adalah lebih tinggi kepentingannya daripada masalah memperoleh Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent itu sendiri (Poernomo B, 2001).
Pola hubungan dokter-pasien yang berubah dari tipe patrenalistik menjadi ke arah hubungan yang lebih simetris menjadikan munculnya berbagi perbedaan kepentingan para pihak. Dokter yang masih konvensional (patron-client) menganggap bahwa pasien yang datang ke klinik atau tempat praktiknya adalah orang yang membutuhkan profesinya dan masih memposisikan pasien sebagai pihak yang lemah, sedangkan dokter menganggap dirinya pada posisi yang tinggi dan harus selalu dituruti. Akibatnya, dokter tidak membuka kesempatan bagi pasien untuk bertanya, tidak memberikan alternatif perawatan penyakitnya dan kadang lebih parah menganggap pasien sebagai benda mati Indra Bastian, Suryono, 2011).

Alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya telah lama dikenal dan digunakan masyarakat indonesia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Masyarakat indonesia mempunyai basis kultural yang dalam banyak hal, lebih suka musyawarah langsung diantara mereka yang bersengketa untuk mufakat. Jika terjadi kebuntuan, barulah mereka minta bantuan pihak lain (Kepala desa, kepa suku, ketua RT dan lainnya) (Jonathan, 2010) Berdasarkan hal-hal di atas muncul ide untuk menyelesaikan sengketa dugaan malpraktik tersebut secara win-win solution, salah satunya adalah dengan mediasi.

Daftar Pustaka
 Aktualpost.com, 2013. Inilah Kronologi Kasus dr.Ayu sebenarnya. Diakses 16 Desember 2013 http://www.aktualpost.com/2013/11/27/5807/inilah-kronologi-kasus-malpraktek-dr-ayu-selengkapnya/.
 Amir A. , Mochtar, R . , 1987 Surat Izin Tindakan Medis, Makalah pada Seminar PERHUKI, Medan
 Amir A. , 2001. Aspek Hukum Dari Persetujuan Tindakan Medis (informed Consent) Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji dam Malik Medan
 Ameln F. , 1991. Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cetakan pertama, Jakarta : PT Grafikatama Jaya.
Amril Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997, hal. 31.
Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa : Agung waluyo.  Edisi ke – 8. Jakarta. EGC, 2001
Black’s Law Dictionary, 7 ed. Minnesota: West Publishing Company; 1999.
Departemen Kesehatan RI , 1992. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Jakarta : Yayasan Bakti Sejahtera KORPRI Unit DEPKES.
Fraser JJ. Technical report: alternative dispute resolution in medical malpractice. Paediatric 2001;107(3):602-7.
Husein Kerbala, Op. Cit, hlm 8. 
Hanafiah, MJ. , Amir A. , 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, cetakan ketiga, Medan : Universitas Sumatera Utara.
Indra Bastian, Suriono,2011.  Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Penerbit Salemba Medika : Jakarta
Purnomo B. , 2001. Hukum Kesehatan, Yogyakarta : Aditya Media
Samil RS. , 2001. Etika Kedokteran Indonesia, edisi kedua, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
Tim Konsil Kedokteran Indonesia, Manual Rekam Medis, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 9. 
Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta: CV Remadja Karya; 1987.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 2005.
Sampurna B. Wewenang dan tanggung jawab dokter pada tindakan bedah kulit kosmetik. Maj Kedokt Indon 2001;51(11):417-20.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 290/Menkes/Per/III/2008.
Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis
Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes