Sunday, October 30, 2016

Konsep Bab 1: Pengaruh penggunaan Propolis terhadap penyembuhan Luka Bakar derajat 2





Untuk mempermudah anda membuat latar belakang judul ini, maka sesuaikanlah dengan yang kami buat dibawah ini, Kami menyusun kerangka ini agar tulisan anda nanti dapat dengan mudah dimengerti oleh Dosen pembimbing anda sehingga mengurangi revisi yang mungkin terjadi. Kami membuatnya dalam format per-paragraph dimana tiap paragraph hanya berisi satu topik saja.
Setiap Judul Penelitian memiliki 2 variabel, kami mengembangkan konsep bab 1 ini dari 2 variabel tersebut, baca lebih lanjut disini 

'DUA VARIBEL' DALAM SKRIPSI KEPERAWATAN
Selamat mengerjakan


Judul: Pengaruh penggunaan Propolis terhadap penyembuhan Luka Bakar deajat 2

Buatlah Latar Belakang anda sesuai panduan berikut:
[Paragraph 1] Apa itu Luka bakar: Jelaskan definisi luka bakar disini. Luka bakar adalah...

[Paragraph 2] Jenis atau derajat luka bakar beserta akibat: JElaskan bagaimana perubahan yang terjadi pada fisik tubuh pasien yang terkena luka bakar. Jelaskan dalam urutan keparahan seperti Luka bakar derajat 1 sampai 3. 

[Paragraph 3] Prevalensi luka bakar : Jelaskan berapa banyak mereka yang terkena luka bakar setiap tahunnya. Jika tidak terdapat data dari dlam negeri, bisa memakai data luar negeri. 


Saturday, October 29, 2016

ETHICAL CONSIDERTION IN GERIATRIC TRAUMA: BAGAIMANA SEHARUSNYA LANSIA DITANGANI



Hal-hal apa sajakah yang perlu perawat perhatikan pada penanganan pasien lansia dengan trauma?
Ketika seseorang mempertahankan kondisi waspada dalam menghadapi adanya peningkatan kebutuhan fisiologis, tubuh mampu mempertahankan kondisi fungsi yang bagus. Sedangkan ketidakseimbangan dalam sistem, akan menurunkan daya kompensasi tubuh. Penurunan fungsi pada lansia menyebabkan penurunan serius dalam performa untuk menangani stress dan lebih mudah terkena sakit. Karena menurunnya fungsi pada lansia, lansia kurang mampu untuk mempertahankan homeostatis untuk menghadapi cidera fisik. (Frankenfield D, 2000).
Pasien lansia yang mengalami trauma tidak dapat bertahan sebaik pada orang muda. Seringkali, penatalaksanaan yang agresif kurang begitu diaplikasikan untuk pasien lansia. Konsekuensinya, pasien lansia yang mengalami trauma kurang bisa untuk mempertahankan perfusi yang cukup pada organ vital. Setelah cidera, pasien lansia lebih cenderung untuk datang pada layanan gawat darurat dengan kondisi syok hipotensi dan hipotermi. Hal ini berkontribusi pada tingginya presentasi dari pasien trauma lansia yang masuk dalam statistik tingkat kematian awal setelah trauma. Hal ini berpengaruh pada kematian berhubungan adanya infeksi dan disfungsi organ yang luas (McKinley, 2000). 
Kematian juga dapat terjadi karena menurunnya kemampuan tubuh untuk mempertahakan kondisi fisiologisnya karena proses penuaan, dengan insiden yang tinggi adanya masalah kesehatan sebelum trauma terjadi sehingga membuat diagnosis yang akurat sulit untuk dicapai pada pasien lansia (Thompson, 1996).  Sebuah penelitian melaporkan bahwa masalah geriatrik membutuhkan pemikiran spesial pada tahap awal, sebagaimana satu dari tiga pasien yang nampak stabil pada ruang resusitasi dengan tekanan darah normal tapi ternyata meninggal 24 jam kemudian karena serangan jantung. Usia yang berhubungan dengan ketidakcukupan cardiac output, yang menjadi penyebab hipoperfusi, sulit diidektifikasi bersama kebutuhan metabolik dan adanya periphal vascular resistance. Beberapa penelitian mengatakan lebih mudah untuk ‘usaha yang tidak cukup untuk mengkompensasi’ ketika terjadi syok pada lansia, yang mengarah pada ketidakcukupan oksigen dan kemudian menciptakan ‘oksigen debt’. Sehingga konsekuensinya adalah semakin tingginya angka kematian (Safih MS, 1999). Faktor fisiologis dari penuaan menghambat kemampuan lansia untuk dapat berespon secara sempurna terhadap stress fisik yang dihadapi.Fisiologis lansia tidak dapat mentoleransi tambahan beban yang terjadi karena stress dari cidera atau disebabkan oleh penyakit kritis, karena sebagian besar kapasitas fungsi tubuh mereka berkurang.
Baru baru ini, dua penelitian melaporkan bahwa tingginya angka kematian kasus lansia memiliki insiden tinggi dari jantung dan komplikasi sepsis dan komplikasi respirasi pada lansia dengan trauma, ketika dibandingkan antara yang dapat bertahan dan meninggal (Shabot MM, 1995). Terdapat beberapa penemuan yang mengidentifikasi jantung, sebagai prediktor bebas dari kurangnya hasil yang baik pada lansia dengan trauma. Dalam penelitian dengan 456 pasien trauma usia lebih dari 65 tahun, Smith dkk melaporkan 5,4% tingkat kematian pada pasien tanpa komplikasi, 8,6% pada mereka dengan satu komplikasi, dan 30% pada lansia dengan lebih dari satu komplikasi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sebenarnya penting untuk menurunkan komplikasi yang berkontribusi pada 32% semua kematian. Diantaranya komplikasi akibat masalah multiple organ failure mencapai 62% kematian pada lansia.

Prinsip etik yang perlu dipertimbangkan saat menangani pasien Lansia dengan Trauma
Keagresian saat membuat keputusan tentang operasi cepat pada lansia diketahui telah dapat menurunkan tingkat kematian sampai 10%. Terdapat beberapa keadaan dimana memang dibutuhkan untuk melakukan penanganan secara segera untuk pasien lansia dengan trauma walau mungkin karena keadaan keluarga yang ragu ragu sehingga menunda penanganan. Banyak dari mereka yang hanya memilih penanganan untuk menunjang kehidupan saja dengan alasan usia yang sudah tua. Isu etik tentang bagaimana seharusnya pasien lansia dirawat adalah sebuah tantangan bagi tenaga kesehatan dalam dua hal yaitu sumber daya dan pembiayaan. hasil akhir dari lansia dengan trauma dapat dimaksimalkan dengan pendekatan yang agresif, daripada sesuatu yang diperkirakan. Terdapat hasil yang baik dari adanya diagnosis awal dan keputusan segera, yang mana tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk mendiagnosa dan mengatasi injury pada pasien lansia dengan cepat (Demetriades, 2002).
Kelangsungan hidup pasien terlihat meningkat pada awal (satu sampai dua jam pertama) keagresifan dan monitor invasif. Usia yang semakin tua tidak seharusnya menjadi alasan untuk meniadakan kesempatan operasi pada luka yang terjadi. Banyak artikel yang menyatakan bahwa pasien lansia memiliki tingkat kematian yang sama tinggi baik dengan penanganan operasi ataupun non-operasi pada managemen splenic injury (Harbrecth, 2001). Albretch dkk melaporkan kegagalan tinggi sebanyak 33% pada pasien lansia dengan penanganan non-operatif, tapi sebenarnya memiliki tingkat tinggi dari adanya splenic injury dan cairan bebas intraperitoneal. Ini adalah alasan potensial mengapa pasien lansia memiliki tingkat kematian tinggi. Ini mungkin dikarenakan adanya kerapuhan dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap trauma (Tsugawa, 2002).

Prinsip Etik yang berkaitan pada Pasien Lansia dengan Trauma

Non-malefisiensi / Tidak Membahayakan
Selama satu tahun meningkat dari umur 65 tahun, kesempatan meninggal pada pasien lansia dengan trauma meningkat 7%/tahun. Lebih lanjut, angka kematian ini dihubungkan dengan pentingnya operasi segera yang lebih memiliki resiko  hingga 3 kali lebih besar daripada bila dilakukan kepada orang muda. Hal ini terjadi karena meingkatnya kerapuhan tubuh lansia dalam menghadapi stress dari luar, dan membutuhkan adanya skoring tentang kerapuhan. Dengan adanya skoring ini, petugas kesehatan dapat lebih memprognosikan apakah operasi darurat yang akan dilakukan lebih memiliki manfaat atau sebaliknya. Terdapat hubungan antara tingkat ketahanan hidup dengan usia, dan hasil akhir secara luas pada pasien juga harus diingat saat pasien mencari pertolongan (Makary, 2010).

Beneficience
Seseorang dapat berargumen dalam seting cidera karena trauma, keinginan dari anggota tim adalah untuk melakukan hal yang baik bagi pasien. Pada praktek, kenyataannya semua penanganan memiliki resikonya sendiri, dan petugas kesehatan harus dapat mengetahui resiko ini disamping keinginan untuk menolong pasien. Seringkali terdapat konflik antara beneficence dengan non-maleficence, dimana penanganan operasi dapat menghasilkan keduanya sekaligus pada satu pasien. Hal ini kemudian menyarankan agar petugas terus meningkatkan kemampuan, mempertahankan konsep keilmuan yang cukup, dan mempertimbangkan keadaan dari semua individu. Sehingga menjadi penting untuk mengerti tantangan spesiik dalam merawat pasien lansia yang mengalami trauma (Anastasia, Anne, 2014).

Autonomy
Konsep dari autonomi berakar kepada hak individu untuk memilih keputusan berkaitan dengan hal pribadi pada pasien untuk membuat keputusan yang terinformasi secara penuh. Dia harus memahami semua resiko dan manaat dari prosedur dan kemungkinan suksesnya. Hal ini membutuhkan informasi yang memadai selama proses informed consent. Pasien mungkin memilih diantara beberapa penanganan atau malah menolaknya, bahkan bila penanganan ini direkomendasikan untuk menyelamatkan nyawa. Kemampuan determinasi diri pada populasi lansia mungkin menjadi tantangan sendiri. Seringkali dengan menuanya seseirang, pasien memiliki penurunan kemampuan untuk memutuskan sesuatu. Pasien bagaimanapun diperbolehkan untuk menentukan keputusan penanganan kesehatan mereka dengan mengikuti keinginan hidup atau masukan dari keluarga. Tenaga kesehatan seharusnya bisa menjaga keinginan pasien bahkan ketika pasien sendiri tidak dapat membuat keputusan tersebut.

Justice
Prinsip etik ke-empat yaitu keadailan, memokuskan kepada pendistribusian dari sumber daya dan organisasi lain secara merata. Pasien lansia adalah salah satu populasi yang rentan. Dari phatofisiologi penuaan, pasien lansia memiliki penurunan penglihatan dan pendengaran dan lainnya yang berkontribusi pada meningkatnya resiko trauma. Prinsip etik dari keadilan menuntut kita untuk dapat melindungi populasi yang rentan ini. Keadilan mengamanatkan bahwa beban dan manfaat dari treatment, bahkan untuk yang baru eksperimen untuk dapat didistribusikan secara sama setiap grup termasuk usia. Kita harus berhati-hati untuk tidak membuat keputusan yang mengarah ke diskriminasi pada pasien lansia dengan trauma dengan hanya memperhitungkan faktor usia saja. Petugas kesehatan dapat menggunakan pengukuran status fungsi dan atau kelemahan seobyektif mungkin dari luka yang didapatkan pasien dan kemungkinan hasil yang didapat setelah operasi. Penyedia layanan kesehatan harus memperhatikan empat aspek ini ketika mengevaluasi keadilan yaitu : sumber daya yang terbatas, kebutuhab\n yang berkompetisi, hak dan kewajiban serta konflik potensial yang mungkin terjadi (Holmes, 2010).

Decicion Making Capacity
Tantangan lain dalam menghadapi pasien lansia adalah dalam hal apakah pasien memiliki kemampuan un tuk mengambil keputusan. Ketika autonomy dihargai, dan ini tentu saja lebih disukai untuk mendapatlan informed consent dari pasien secara alngsung, pasien harus memiliki cukup pengetahuan untuk mengambil keputusan tersebut. Penilain klinis tentang pengambilan keputusan adalah bagian dari praktek kesehatan sehari-hari. Seorang pasien yang tidak sadar tentu saja tidak dapat membuat keputusan tersebut termasuk juga mereka yang dalam keadaan delirious atau mengalami dementia.Lebih lanjut, kemampuan untuk mengambil keputusan akan berbeda dan bervariasi tergantung keadaan medis seperti juga lansia. Keputusan formal dalam hal ini akan berada di bawah pengadilan (Murphy, 2012).

Do Not Resusitate
Pasien sebagai pengambil keputusan mempunyai hak untuk menolak tindakan penyelamatan nyawa berdasarkan prinsip dari autonomy. Ini juga termasuk cardiopulmonary resuscitation (CPR). Sebuah kebijakan DNR, untuk menahan CPR termasuk didalamna managemen airway, intubasi, dan intervensi farmakologis untuk menstimulasi jantung, kompresi jantung dan bahkan defibrilator. Berdaarkan data, diletahui (termasuk lansia) bahwa ¾ pasien percaya akan selamat dalam CPR. Hal yang tidak menguntungkan adalah secara realtias kurang dari 20% pasien bertahan hidup setelah CPR dan 10-44% dari paisen tersebut bertahan hidup dengan kerusakan neurologis. Di amerika terdapat peraturan disebut sebagai The Patient Self-Determination Act of 1990 yang mengijinkan pasien untuk menolak penanganan medis bahkan jika itu akan berakibat kematian, dan DNR mungkin adalah bagian dari arahan lebih lanjut mereka. Jika seorang pasien menjadi tidak dapat menentukan arahan dalam kesehatan mereka sendiri, dokter dapat menjadikan perintah DNR tetap diadakan untuk menghormati keinginan sebelumnya. Karena sebenarnya prosedur CPR tidak dibuat khusus untuk kematian yang telah diramalkan dari sebuah penyakit kronik. Seorang tenaga kesehatan tidak memiliki kewajiban untuk melakukan CPR jika prosedur tersebut terdapat kontraindikasi seperti DNR (diem, 1996).

Kesimpulan
Trauma pada populasi lansia sering terjadi dan dihubungkan dengan tingkat kematian yang tinggi, tidak hanya berhubungan dengan faktor mekanisme cidera, tapi juga komplikasi populasi seperti usia, menurunnya kemampuan fisik, meremehkan keparahan akibat cidera, ‘preexisting comordity’, dan ketidakcukupan kemampuan tubuh untuk kompensasi. 
Penurunan fungsi pada lansia menyebabkan penurunan serius dalam performa untuk menangani stress dan lebih mudah terkena sakit. Karena menurunnya fungsi pada lansia, lansia kurang mampu untuk mempertahankan homeostatis untuk menghadapi cidera fisik. (Frankenfield D, 2000).

Datar pustaka

Anastasia, Anne C, 2014. Ethics in Geriatric Trauma.  Division of Trauma, Department of Surgery , Rutgers – New Jersey Medical School , 150 Bergen Street Room M-229 , Newark , NJ 07101 , USA
Buemi M, Nostro L, Aloisi C, et al. Kidney aging: from phenotype to genetics. Rejuvenation Res 2005;8:101–9.
Barton RN, Horan MA, Clague JE, et al. The effect of aging on the metabolic clearance rate and distribution of cortisol in man. Arch Gerontol Geriatr 1999;29:95–105.
Chang dkk, 2010. TRAUMA MORTALITY FACTORS IN THE ELDERLY POPULATION
Crit Care Nurs Clin North Am 1996;8:7–16.
Deartemen Kesehatan RI, 1992 . Pedoman pelayanan kesehatan Jiwa Usia Lanjut. Cetakan kedua. Jakarta : Depkes Ditjen Pelayanan medik
Darmojo, RB.1999. Buku Ajar Geriatrik Ilmu kesehatan Usia Lanjut. Jakarta ; Balai Penerbit FK-UI
Demetriades D, Karaiskakis M, Velmahos G, Alo K, Newton E, Murray J, et al. Effect on outcome of early intensive management of geriatric trauma patients. Br J Surg 2002; 89: 1319–22.
Diem SJ, Lantos JD, Tulsky JA. Cardiopulmonary resuscitation on television; miracles and misinformation. N Engl J Med. 1996;334: 1578–82.
Frankenfield D, Cooney RN, Smith JS, et al. Age-related differences in the metabolic response to injury. J Trauma 2000;48:49–56Hawari , Mandang . 2000. Pendekatan holistik pada gangguan jiwa , Jakarta ; FKUI
Harbrecht BG, Peitzman AB, Rivera L, Heil B, Croce M, Morris JA Jr, et al. Contribution of age and gender to outcome of blunt splenic injury in adults: multicenter study of the Eastern Association for the Surgery of Trauma. J Trauma 2001; 51: 887–95.
Hardywinoto. 1999 . Panduan Gerontologi Tinjauan dari berbagai ASPEC Jakarta : PT. Gramedia.
Holmes HM. Quality of life and ethical concerns in the elderly thoracic surgery patient. Thorac Surg Clin. 2009;19(3):401–7.
Janssens JP. Aging of the respiratory system: impact on pulmonary function tests and adaptation to exertion. Clin Chest Med 2005;26:469–84.
Makary MA, Segev DL, Pronovost PJ, Syin D, Bandeen-Roche K, Patel P, et al. Frailty as a predictor of surgical outcomes in older patients. J Am Coll Surg. 2010;210(6):901–8.
McKinley BA, Marvin RG, Cocanour CS, et al. Blunt trauma resuscitation: the old can respond. Arch Surg 2000;135:688–93.
Murphy T. Ethics in Clerkships; Surrogate Decision Making. University of Illinois at Chicago College of Medicine. [cited 27 Dec 2012]. Available from: http://www.uic.edu/depts/mcam/ethics/surrogate.htm .
Thompson LF. Failure to wean: exploring the influence of age-related pulmonary changes.
Safih MS, Norton R, Rogers I, Gardener JP, Judson JA. Elderly trauma patients admitted to the intensive care unit are different from the younger population. NZ Med J 1999; 112: 402–4.
Shabot MM, Johnson CL. Outcome from critical care in the “oldest old” trauma patients. J Trauma 1995; 39: 254–9.
Tsugawa K, Koyanagi N, Hashizume M, Ayukawa K, Wada H, Tomikawai M, et al. New insight for management of blunt splenic trauma: significant differences between young and elderly. Hepatogastroenterology 2002; 49: 1144–9.
Williams JM, Evans TC. Acute pulmonary disease in the aged. Clin Geriatr Med 1993;9: 527–45.

Thursday, October 27, 2016

Konsep Bab 1: Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak Usia Prasekolah





Untuk mempermudah anda membuat latar belakang judul ini, maka sesuaikanlah dengan yang kami buat dibawah ini, Kami menyusun kerangka ini agar tulisan anda nanti dapat dengan mudah dimengerti oleh Dosen pembimbing anda sehingga mengurangi revisi yang mungkin terjadi. Kami membuatnya dalam format per-paragraph dimana tiap paragraph hanya berisi satu topik saja.
Setiap Judul Penelitian memiliki 2 variabel, kami mengembangkan konsep bab 1 ini dari 2 variabel tersebut, baca lebih lanjut disini 

'DUA VARIBEL' DALAM SKRIPSI KEPERAWATAN
Selamat mengerjakan


Judul: Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Pembentukan Kepribadian Anak Usia Prasekolah

Buatlah Latar Belakang anda sesuai panduan berikut:
[Paragraph 1] Apa itu Anak: Jelaskan definisi anak, karakteristik anak, .

[Paragraph 2] Pertumbuhan dan perkembangan anak: JElaskan bagaimana perubahan yang terjadi pada anak usia prasekolah. Bgaimana pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi. Pakai beberapa teori tumbang anak yang ada.

[Paragraph 3] Kepribadian anak : Jelaskan apa itu Kepribadian. Ungkapkan apa saja jenis kepribadian yang ada pada anak. Misal introvet, ekstrovet dll. JElaskan dengan tepat jenis kepribadian disini beserta ciri-cirinya, karena akan berhubungan dengan kuesinoer. Semakin jelas pembagian jenis keprobadian beseta ciri yang anda dapatkan, semakin mdah pengerjaan kuesioner anda.

'Dua Variabel' dalam Skripsi Keperawatan



Skripsi atau penelitian dalam Keperawatan biasanya memakai konsep Bivariat atau membandingkan dua variabel. Walaupun ada juga yang hanya mneggunakan konsep Univariat atau satu variabel saja yang biasanya bersifat Deskriptif. Namun untuk sebagian besar penelitian keperawatan menggunakan penelitian Bivariat karena data yang didapatkan lebih Objektif dan lebih terstruktur.

Dan karena tentunya Skripsi menentukan masa depan mahasiswa, maka dengan itu kami mencoba membantu anda memahami trik-tips membuat Skripsi yang tidak mudah untuk ditolak.

Yang pertama adalah anda harus memahami 'Dua Variabel' dalam penelitian Keperawatan.

Apa itu Variabel Penelitian?. Makna utama variabel penelitian adalah OBJEK YANG KITA TELITI. Sehingga penelitian dengan 2 Variabel artinya penelitian terhadap 2 OBJEK

Konsep Bab 1: Pengaruh Tingkat stress terhadap kejadian Merokok Remaja SMA



Untuk mempermudah anda membuat latar belakang judul ini, maka sesuaikanlah dengan yang kami buat dibawah ini, Kami menyusun kerangka ini agar tulisan anda nanti dapat dengan mudah dimengerti oleh Dosen pembimbing anda sehingga mengurangi revisi yang mungkin terjadi. Kami membuatnya dalam format per-paragraph dimana tiap paragraph hanya berisi satu topik saja.
Selamat mengerjakan


[Paragraph 1] Apa itu Remaja: Jelaskan definisi remaja, karakteristik remaja


[Paragraph 2] Perubahan pada remaja: Remaja yang sedang mengalami masa pubertas/pendewasaan seringkali mengalami perubahan baik itu fisik maupun psikologis, jelaskan di paragraph ini. Salah satu perubahan psikologis pada remaja adalah stress... (masukkan kalimat ini untuk menyambung ke paragraph bawah). 

[Paragraph 3] Stress pada remaja: Jelaskan apa itu stress, Jelaskan stress yang terjadi pada remaja, apa yang terjadi pada lansia yang mengalami stress. Apa akibat stress pada remaja, jelaskan dalam paragrap ini.

Thursday, October 20, 2016

Nilai, Moral dan Budaya dalam Etika Profesi Keperawatan



Nilai, Moral dan Budaya dalam Etika Profesi Keperawatan
Hardiyanto, 2013

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, realitas keadaan ekonomi yang ada, perbedaan dalam masyarakat, dan adanya perkembangan global membuat perawat tidak bisa menghindari akan adanya isu etis saat berhubungan dengan individu,  komunitas, masyarakat, tempat kerja dan lainnya (Rich and Butts, 2010). Saat ini masalah yang berkaitan dengan etika (ethical dilemmas) telah menjadi masalah utama disamping masalah hukum, baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi layanan kesehatan.  Setiap dilema membutuhkan jawaban dimana dinyatakan bahwa sesuatu hal itu baik dikerjakan untuk pasien atau baik untuk keluarga atau benar sesuai kaidah etik (Suhaemi, M.E.,2004). Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional (Tappen, 2005). Penting bagi semua kalangan keperawatan bukan hanya perawat di klinik, tapi juga pendidik di institusi pendidikan untuk mengerti, mengetahui dan memahami  lebih jelas etika profesi keperawatan

Awal mula keperawatan profesional dimulai oleh Florence nightingle pada abad ke 19. Sebuah sekolah keperawatan di Inggris yang didirikannya adalah tempat pertama dimana pembentukan nilai dan etik dalam keperawatan mulai dibicarakan (Kuhse and Singer, 2001). International Council o Nurses (ICN) yang menjadi penggagas pertama dalam mengembangkan kode etik keperawatan didirikan pada tahun 1899. Pada tahun 1990, buku pertama etika keperawatan berjudul “Nursing Ethic:for hospital and private use” ditulis oleh perawat senior Amerika bernama Isabel Hampton Robb. Pada awalnya di tahun 1960-an, kode etik keperawatan masih terfokus kepada aspek ‘physician’ yang mana memang keadaan waktu itu perawat adalah perempuan dan kedokteran didominasi laki-laki. Pada 1973, kode etik telah keperawatan berubah pandangan menjadi lebih fokus kepada pasien (Butts, 2006).
Kode etik merupakan panduan yang sistematis bagi perawat untuk  membentuk perilaku etik yang akan menjawab pertanyan normatif akan nilai dan kepercayaan apakah yang seharusnya diterima secara moral. Walaupun tidak ada kode etik yang dapat memberikan jawaban penuh, kode etik dapat memberikan pendekatan yang lebih baik untuk dapat memecahkan dilema atau kasus etik (Beauchamp and Childress, 2001). Kode etik keperawatan ada kerena perawat sebagai profesi mengakui prinsip dan standart manusia untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang optimal.
Australia Council of Nursing menyatakan bahwa Perawat menerima hak universal manusia dan tanggung jawab moral untuk menjaga perbedaan dan kesamaan hak dari semua orang. Ini mencakup adanya pengakuan, penghormatan dan melindungi perbedaan masyarakat, budaya, nilai, ekonomi hak sosial dan politik serta moral etika yang ada dan melekat pada setiap diri manusia (ACN, 2009). Hal ini memunculkan pandangan bahwa kode etik tidak lepas dari adanya nilai, norma dan budaya yang ada di individu dan masyarakat sebagai dasar timbulnya kode etik itu sendiri.
Canadian Nurse Association (CNA) membagi kewajiban etik ke dalam 7 nilai utama sebagai dasar hubungan profesional antara perawat dengan individu, keluarga, grup, komunitas dan masyarakat. Kode etik dari persatuan perawat di Kanada ini akan diperbaharui secara berkala  untuk memastikan bahwa kode etik ini akan memenuhi kebutuhan perawat dengan mencerminkan perubahan dalam nilai sosial dan kondisi yang ada di masyarakat (CNA, 2008). Hal ini menegaskan bahwa kode etik merupakan panduan etika yang akan terus berkembang. Perkembangan yang sejalan dengan perubahan konteks sosial masyarakat yang dapat memiliki pengaruhi signifikan terhadap praktik keperawatan.

Nilai dalam Etika Profesi Keperwatan
Nilai merupakan hal yang tidak lepas dalam praktek profesi keperawatan. American Nurse Asociation (ANA) mengatakan bahwa nilai merupakan hal yang penting dan ditegaskan keberadaanya (emphasized) dalam Kode Etik Keperawatan (ANA, 2001). Nilai merupakan pandangan dan evaluasi individu atau masyarakat terhadap apa yang baik dan diinginkan ataukah sesuatu itu  tidak baik dan tidak diinginkan (Rich and Butts, 2010).
Nilai dalam keperawatan mencakup penghargaan akan apa yang penting dan baik untuk profesi dan keperawatan begitu pula baik untuk pasien sendiri (Rich and Butts, 2010). Mempertahankan integritas dalam menghargai nilai berarti bertindak secara konsisten dengan nilai personal manusia dan nilai dari profesi (ANA, 2001). Nursing Council of Hongkong dalam kode etik keperawatan diwilayahnya mengatakan bahwa perawat harus mengahargai martabat, nilai, budaya dan kepercayaan pasien dan keluarga dalam memberikan pelayanan keperawatan (NCH, 2009).
Nilai dalam keperawatan mempunyai peran vital dalam penyelesaian masalah etik. Rich dan Butts menjelaskan ketika perawat dipaksa dan ditekan untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan nilai mereka, nilai dari seorang perawat harus dapat memandu penalaran moral dan aksi perawat bahkan ketika orang lain menantang kepercayaan perawat (Rich and Butts, 2010). Dari sini jelas bahwa etika atau perilaku etik yang digunakan perawat dalam praktek profesinya tidak lepas dari nilai-nilai keperawatan sendiri sebagai dasar, sebagai panduan yang memberikan pencerahan dan tertuang dalam Kode Etik Keperawatan.
Nilai adalah cikal bakal daripada etika keperawtan itu sendiri. Pullman mengatakan bahwa ada dua konsep dari martabat manusia. Yang pertama adalah martabat dasar (basic dignity), dan kedua adalah martabat personal (personal dignity).  Memahami konsep martabat individu yang menjadi bagian utama dan penting dari diri seseorang dan pasien lainnya merupakan nilai sendiri yang mana menjadi dasar bagi perawat dalam melakukan penalaran moral (Pullman, 1999).  Penalaran moral yang menjadi dasar perilaku etik seorang perawat dijelaskan pullman diatas harus menghargai dan memahami martabat dari individu. Nilai yang profesional adalah bagian didalam penalaran moral (moral reasoning) (Rich and Butts, 2010).
.
Moral dalam Etika Profesi Keperawatan
Australian Council of Nursing mengatakan bahwa perawat yang menghargai kualitas layanan keperawatan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan perawatan sesesorang, menerima nilai moral pasien dan bertanggung jawab dalam memastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan, kemampuan dan pengalaman dalam memberikan perawatan profesional. Lebih lanjut ACN menjelaskan bahwa perawat menghargai  nilai dan kebaikan dalam diri seseorang dengan cara menghargai nilai moral pasien dan martabatnya (ACN, 2009).
Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak mores) yang berarti kebiasaan, adat. Moral merupakan suatu standar salah atau benar bagi seseorang. Moral adalah standart yang paling dasar dari apa yang benar dan salah yang individu pelajari dan masukkan ke dalam dirinya (Bertens, 1993).  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila.
Perawat menghargai aspek legal dan moral baik dari individu, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi kapanpun dimungkinkan dalam pengambilan keputusan terhadap pelayanan keperawatan dan medis yang akan mereka terima (ACN, 2009). Kepercayaan seorang perawat, berdasar pada penalaran moral yang baik, yang harus mengarahkan perawat saat memberikan pelayanan (Butts, 2006).
Secara umum, penalaran menggunakan proses  pemikiran yang abstrak untuk memecahkan masalah dan menyusun rencana. Penalaran Moral menyinggung bagaimana tentang manusia seharusnya bertindak (Angeles, 1981).  Lalu bagaimanakan menggunakan penalaran moral ini dalam praktek keperawatan?. Aristotle dalam Broadie (2002) menyebutnya sebagai kebijaksanaan. Kebijaksanaan berfokus kepada pencapaian yang baik, dengan cara mengetahui bagaimana harus bertindak dalam situasi tertentu, melakukan pertimbangan yang mendalam, dan mempunyai watak yang konsisten dan karakter yang bagus. Sehingga, praktek keperawatan yang berdasarkan pertimbangan moral adalah praktek keperawatan yang mendasarkan pertimbangan bijaksana dalam mengambil keputusan, terlebih keputusan etik.
Karena perawat menerima dan menghargai moral individu pasien dalam memberikan layanan asuhan keperawatan yang berkualitas, maka etika perawat dalam praktek keperawatan harus memperhatikan moral individu baik moral pasien maupun moral perawat sendiri. Hal ini menandakan bahwa aspek moral berpengaruh kepada etika profesi keperawatan. Perbedaan moral pada setiap individu menuntut perbedaan ‘kebijaksanaan penilaian moral’ oleh perawat dalam memberikan pelayanan yang beretika dan profesional.

Budaya dalam Etika Profesi Keperawatan
Profesi keperawatan mengakui adanya perbedaan di dalam masyarakat. Menghargai perbedaan masyarakat memerlukan perawat untuk memahami bagaimana latar belakang perbedaan budaya dan bahasa dapat mempengaruhi ketersediaan dan penerimaan layanan keperawatan dan kesehatan di sebuah tempat (ACN, 2009).
Kebudayaan merupaka sistem yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006). Budaya terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Masyarakat menggunakan komponen budaya  dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam kehidupan mereka (Kalangie, 1994).  
Canadian Nurse Asociation (CNA) menyatakan bahwa konteks sosial dimana perawat bekerja akan terus berubah dan memberikan pengaruh yang signifikan untuk praktek keperawatan. Dengan merubah secara berkala isi dari kode etik keperewatan, diharapkan kode etik akan mampu memenuhi kebutuhan perawat untuk mengikuti perubahan nilai sosial dan kondisi yang mempengaruhi masyarakat, perawat dan penyedia layanan kesehatan lain (CNA, 2008). Menghargai masyarakat membutuhkan perawat untuk mengenali dan mendengarkan klaim moral dari masyarakat dan hak dasar manusia sebagai penyokongnya. Hal ini termasuk mendengarkan kebutuhan dan perhatian masyarakat  yang mungkin mempunyai inisiatif sendiri untuk pemenuhan kebutuhan kesehatannya (ACN, 2009).  

Dari sini dapat diketahui bahwa budaya masyarakat disebuah tempat menjadi penting bagi perawat untuk ketahui, terima dan hargai. Budaya masyarakat menentukan penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Masyarakat memiliki pandangan sendiri akan kebutuhan kesehatan yang mereka cari. Perawat saat memberikan pelayanan hendaknya mampu menghargai nilai budaya yang ada di dalam sebuah komunitas dan dapat dijadikan dasar etika dalam berhubungan dengan masyarakat.

Daftar Pustaka
1.    American Nurse Association (ANA). 2001. Code o Ethic for Nurse with Interpretive statement. Silver Spring, MD :Author
2.    Angeles, Peter A, 1981.  Dictionary of Philosophy.  New York: Barnes & Noble Books.
3.    Australian College of Nusring (ACN), 2009. Code o Ethic for Nurses in Australia. Australia Nursing Federation : Australia
4.    Beauchamp T and Childress J (2001) Principles of Biomedical Ethics, Oxford University Press, New York.
5.    Bertens. K,1993.etika, Jakarta :PT.Gramedia Pustaka Utama
6.    Broadie (2002). Comparison o sales people in multiple vs single level direct selling. Journal of Selling and Management, Volume XXII, number 2, 67-75.
7.    Butts, Jaeni B, 2006. Ethic in professional nursing practice. Joanett and Abarlett Publisher.
8.    Canadian Nurse Association (CNA), 2008. Code of Ethic for Registred Nurse. CNA : Ottawa
9.    Nico S Kalangie, (1994). Kebudayaan dan Kesehatan Pengembangan Pelayan-an Kesehatan Primer Melalui Pen-dekatan Sosiobudaya. Jakarta : PT. Kesaint Blanc Indah Corp.
10.  International Council of Nurses (1999–2006) Position Statements, ICN, Geneva. Available at: www.icn.ch.
11.  Johnstone M and Kanitsaki O (2007) ‘An exploration of the notion and nature of the construct of cultural safety and its applicability to the Australian health care context’, Journal of Transcultural Nursing, 18(3), pp. 247–56
12.  Kalangie, Nico S (1994). Kebudayaan dan Kesehatan Pengembangan Pelayan-an Kesehatan Primer Melalui Pen-dekatan Sosiobudaya. Jakarta : PT. Kesaint Blanc Indah Corp.
13.  Kuhse and Singer, 2001. What is bioethics? A historical approach, a companion to bioethic (pp 3-11). Oxford, UK: Blackwell.
14.  Nursing Council o Hongkong, 2009. Code of Professional Conduct and Code of Ethics. NCH : Hongkong
15.  Rich and Butts, 2010. Foundation of Ethical Nursing Practice. Joane and Barnett Learning : LCC
16.  Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia
17.  Suhaemi, M.E.,2004. Etika Keperawatan : Aplikasi pada Praktek. Jkarta: EGC
18.  Tappen, M.R., Sally A. Weiss, Diane K.W. (2004). Essentials of Nursing Leadership and Management. 3 rd Ed. Philadelphia : FA. Davis Company.
19.  World Health Organization (2001) Health and Human Rights Publication Series: 25 questions and answers on health and human rights, WHO Press, Geneva. Available at: www.who.int.

Tuesday, October 18, 2016

Meningkatkan Bystander CPR, dimulai dari mana?




     Sebuah peristiwa tragis yang mirip seperti adegan film action terjadi di Jakarta, 10 September 2013 silam. Malam itu seorang polisi bernama Bripka Sukardi ditembak oleh kawanan tak dikenal tepat ditengah-tengah Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, seusai melaksanakan tugas jaga malam-nya. Berita ini kemudian menjadi pemberitaan nasional di berbagai media massa karena tempat kejadian perkara yang berada tepat di depan gedung KPK yang tersohor. Saat itu Bripka Sukardi sedang mengawal truk bermuatan besi. Entah dari mana secara tiba-tiba dua pengendara sepeda motor menyalip truk tersebut dan langsung menembaki Bripka Sukardi sebanyak tiga kali. Tak ayal Bripka Sukardi-pun langsung jatuh dari sepeda motornya (MetroTVNews, 2013).

            Yang menjadi perhatian setelahnya adalah ternyata setelah penembakan tersebut, Bripka Sukardi masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Menurut laporan saksi mata, korban tidak langsung tewas setelah terkena tiga tembakan di bagian dada dan perut. Karena bantuan terlambat datang Bripka Sukardi pun mengembuskan napas terakhir (MetroTVNews, 2013). Begitu pula laporan dari Laksoho untuk Kompas,   “Wartawan yang bertugas di Gedung KPK, Mufti, menyatakan mendengar suara tiga tembakan dari dalam gedung dan berlari keluar menuju tempat polisi itu terjatuh. Ia melihat polisi terkapar bersama sepeda motornya. Dari tanda pengenal di seragam yang dikenakan, polisi tersebut dikenali bernama Sukardi. Menurut Mufti, saat itu korban masih bernapas” (Kompas, 2013).

Contoh Susunan Latar Belakang (BAB.1) Skripsi Keperawatan: Pengaruh terapi lagu jawa terhadap tingkat stress lansia



Untuk mempermudah anda membuat latar belakang judul ini, maka sesuaikanlah dengan yang kami buat dibawah ini, Kami menyusun kerangka ini agar tulisan anda nanti dapat dengan mudah dimengerti oleh Dosen pembimbing anda sehingga mengurangi revisi yang mungkin terjadi. Kami membuatnya dalam format per-paragraph dimana tiap paragraph hanya berisi satu topik saja.
Setiap Judul Penelitian memiliki 2 variabel, kami mengembangkan konsep bab 1 ini dari 2 variabel tersebut, baca lebih lanjut disini 

'DUA VARIBEL' DALAM SKRIPSI KEPERAWATAN
Selamat mengerjakan


Untuk memudahkan pembuatan Latar Belakang yang jelas dan teratur, maka sesuaikanlah latar belakangmu dengan  pengaturan di bawah. Susun tiap-tiap paragraph sesuai dengan keterangan disampingnya.


[Paragraph 1] Apa itu lansia : Jelaskan definisi lansia, karakteristik lansia



[Paragraph 2] Perubahan pada lansia: Semua lansia akan mengalami perbahan-perubahan mulai dari perubahan fisik hingga psikologis termasuk stress. Jelaskan perubahan yang terjadi di paragraph ini.

[Paragraph 3] Stress pada lansia: Jelaskan apa itu stress, Jelaskan stress yang terjadi pada lansia, apa yang terjadi pada lansia yang mengalami stress. Apa akibat stress pada lansia, jelaskan dalam paragrap ini.

Saturday, October 8, 2016

Perbedaan Skripsi dengan Tesis Keperawatan




Mungkin ini menjadi pertanyaan bagi teman-teman yang sedang duduk di semester 3. Apa  bedanya tugas akhir untuk Strata-1 (Skripsi) dan untuk Strata-2 (Magister) di dalam Keperawatan?. Apakah memang ada bedanya? Apa hanya lebih dalam saja pembahasannya?


Monday, October 3, 2016

6 Tips Jitu agar Judul Skripsi Keperawatan diterima oleh Dosen



Membuat Skripsi memang tidak mudah. Terlebih lagi dalam Keperawatan, ada hal-hal yang tidak dapat diteliti dan biasanya penelitian keperawatan/kesehatan lebih banyak prosedurnya daripada cabang ilmu lain.
Jangankan membuat Bab Pendahuluan, baru mengajukan judul saja sudah was-was rasanya. Ditolak atau tidak ya. Bila ditolak rasanya seperti dunia telah terbalik, apalagi kalau kita sudah mempersiapkannya dengan baik.


Takut Judul Skripsi Keperawatan-mu ditolak oleh Dosen pembimbing? Beberapa tips berikut dapat kamu gunakan.

Sunday, October 2, 2016

Bagaimana membuat Skripsi Keperawatan



Hal ini mungkin dialami oleh sebagian besar mahasiswa keperawatan tingkat akhir, Walaupun mungkin mereka telah mencoba membuat proposal penelitian sebagai tugas. Tetapi ketika sudah saatnya membuat Skripsi yang asli, kebingungan melanda. Lalu bagaimana caranya agar kita punya gambaran akan seperti apa Skripsi yang kita buat.

Berikut beberapa Tips-nya

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes