Tuesday, November 8, 2016

MANAJEMEN BENCANA MENGGUNAKAN MODEL EKOLOGI






Dari segi letak geografisnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat beresiko untuk terjadi bencana alam, baik itu gempa bumi, banjir, tsunami, gunung meletus, maupun longsor.Penanganan yang tepat untuk menghadapi bencana sangat diperlukan sekali  mulai dari fase kesiapsiagaan sampai dengan rehabilitasi.Karena manajemen bencana merupakan kegiatan yang sangat kompleks. Jauh lebih kompleks dibanding manajemen kesehatan dalam kondisi biasa. Sehingga perlu pendekatan yang komprehensif termasuk aspek govermance dalam menangani bencana (Trisnantoro L, 2007).
Akan tetapi, kondisi yang terjadi selama ini, penanganan bencana masih kurang efektif dan bersifat parsial karena penanganan masih lebih sering hanya pada pemberian bantuan fisik selama bencana terjadi serta penanganan kondisi kegawatdaruratan.Kerjasama lintas sektor dalam kesiapsiagaan bencana dinilai masih sangat minim. Perlu penguatan dari seluruh lapisan mulai dari pemerintah pusat,  pemerintah daerah sampai dengan masyarakat untuk melakukan kesiapsiagaan bencana karena kesiapsiagaan merupakan hal yang penting dan harus dibangun pada setiap tingkat kelompok di masyarakat (Noor I, 2009).
Manajemen bencana menggunakan model ekologi dimungkinkan sangat tepat sekali untuk diterapkan karena tiap-tiap fase dalam bencana melibatkan seluruh lapisan komponen yang terlibat didalamnya mulai dari individu dan kelaurga sampai dengan pemerintah pusat.


2.1  Model Ecological dalam Managemen Bencana
Model ekologikal dari managemen bencana ini menyediakan kerangka kerja untuk memandu perawat yang ingin mengembangkan program managemen bencana. Model ecological ini berasumsi bahwa perencanaan bencana, persiapan, respon dan recovery terjadi pada setiap level di dalam organisasi. Bentuk ‘sarang’ ini meningkatkan level organisasi yang komplek mencakup level individu, keluarga, tempat kerja, komunitas, wilayah, suku, negara dan internasional. Model ecological ini mengajuhan hipotesa bahwa setiap level ini berinteraksi dan interaksi dinamis ini menentukan perencanaan bencana, persiapan, dan elemen respon, kendala logistik dan fleksibilitas, sustainability dan rehabilitasi terjadi pada setiap level dari model bencana ini. Akhirnya, model ini bersumsi bahwa usaha eveluasi dari respon dan recovery seharusnya dapat memberikan masukan kepara persiapan dan perencanaan bencana di masa mendatang.
Model kegawatdarurtan untuk persiapan, respon dan recovery mendapatkan tantangan yang kompleks dan tidak mudah. Meskipun bermacam model managemen bencana telah dibuat untuk menjelaskan urutan kejadian dan aktivitas yang harus terlaksana di persiapan sebelum benccana, selama dan sesudah bencana, tidak ada usaha sistemtis untuk mengkonsepkan dan membuat model atau kerangka kerja yang menegskan pengaruh dari bermacam sitem dan organisasi tang terkena efek selama siklus penanganan bencana(Jennings-Saunders, 2004; Veenema, 2007; Wisner & Adams, 2002)..
Model ecological yang dijelaskan dalam makalah ini menyediakan contoh spesifik dan umum dari persiapan, respon dan recovery. Menegaskan faktor spesifik untuk diperhitungkan ketika menerapkan program penanggulangan bencana dalam area masyarakat.

2.2 Ecological Teori dan Model Ecological untuk bencana
Dasar pemikirn utama dalam model ecological ini adalah bahwa sistemnya dinamis, masuk kedalam dan semua hal berhubungan dengan hal lainnya. Hubungan antar manusia dan interksinya dapat dimengerti melalui konteks ecological yang dikonsepkan kedalam berbagai level atau lapisan yang meningkatkan kompleksitas organisasi.
Model ecological ini terdiri dari bentuk  sarang atau lapisan yang terdiri dari level struktur yang sukses didalamnya. Dalam model ini, lapisan lapisan mewakili berbagai macam level organisasi dalam managemen bencana. Model ini menegaskan hubungan yang sistematis dan saling menguntungkan dari berbagai level managemen bencana selama fase/siklus bencana dan mengilustrasikan bagaimana kerja dari organisasi memenuhi kebutuhan struktur yang lebih luas.
Tidak seperti orientasi dahulu dimana perencanaan, persiapan dan respon serta recovery bencana terjadi di setiap level secara mandiri dan tidak terhubung, model ecological ini memberi masukkan bahwa managemen bencna harus terjadi di setiap level organisasi yang saling menguntungkan satu sama lain. Untuk alasan inilah, penting bahwa usaha perencanaan gawat darurat terjadi dengan adanya pengenalan dan pemahaman dengan level lain dari sistem ecologi ini, terutama dengan level keluarga dan komunitas.
Model ecologi ini bersumsi bahwa setiap rencana managemen bencana, persiapan, respon dan recovery terwujud dalam bentuk sangakr yang semakin ketas semakin kompleks organisasi yang terlibat dan konteks levelnya. Berdasar dari model ini, setiap lapisan dalam model dan keefektifan dari managemen bencana bergantung kepada fungsi interaksi antara bermacam level organisasi.


Model ekologi merupakan system yang dinamis dimana segala tingkatan yang berperan saling berikatan dan berhubungan. Model ekologi manajemen bencana menegaskan  bahwa pelaksanaan majaemen bencana dalam tiap fasenya merupakan siklus yang sistematik dan saling berkaitan antara berbagai level organisasi sehingga hal ini sangat penting untuk dapat mengenali bahwa masing-masing tingkatan mempunyai peran yang sama – sama penting.

Model ekologi dalam manajemen bencana ini mempunyai skema sebagai berikut :


















           

Berdasarkan pada skema di atas, dapat dilihat bahwa tiap-tiap komponen dalam manajemen bencana mulai dari fase planning, preparedness, response dan recovery mempunyai timgkatan yang sangat komplek. Dimana masing-masing tingkatannya didalam level oraganisasi saling mempunyai interaksi antara satu dengan lainnya dan mempunyai hubungan yang saling menguntungkan


Manajemen Bencana Pada Tiap Fase Planning, Preparedness,  Response dan Recovery berdasar ecological system

            Persiapan, perencanaan, respon dan pemulihan dalam managemen bencana dalam sistem ekologikal ini adalah proses yang harusnya terjadi didalam setiap level mulai dari individu, keluarga, tempat kerja, komunitas, desa, pemerintah lokal, negara dan international.
Model ekologi merupakan system yang dinamis dimana segala tingkatan yang berperan saling berikatan dan berhubungan. Model ekologi manajemen bencana menegaskan  bahwa pelaksanaan majaemen bencana dalam tiap fasenya merupakan siklus yang sistematik dan saling berkaitan antara berbagai level organisasi sehingga hal ini sangat penting untuk dapat mengenali bahwa masing-masing tingkatan mempunyai peran yang sama – sama penting

1.      Fase Pre Disaster
a.      Pre-event planning elements dan Preparedness Elements
Menurut model ekologi, pada tahapan/fase preparedness, diperlukan kesiapan dan perencanaan yang adekuat dengan melibatkan seluruh lapisan komponen masyarakat yang terlibat sehingga akan terjadi saling interaksi dan komunikasi untuk mengendalikan, mengontrol dan mengurangi dampak dari bahaya-bahaya bencana. Berdasarkan hal tersebut, penyusunan rencana untuk penyiagaan seluruh unsur terkait maupun instansi dalam menghadapi bencana harus dilakukan, mulai dari penyamaan persepsi pada setiap unit kerja yang terlibat pada penyusunan  SOP / panduan dalam menghadapi bencana, melakukan pemetaan (mapping) untuk potensi bencana yg mengancam, potensi SDM, data fasilitas & sumbernya serta menyusun perencanaan dalam bentuk dokumen tertulis dan protap-protap , program sosialisasi dan pelatihan (Strasser, 2008).
Sebagai bagian dari perencanaan, pengenalan akan potensi bahaya menjadi penting untuk dikenali. Bahaya ini mungkin meliputi bahaya alam, teknologi atau akibat manusia. Individu atau komunitas tertentu mungkin lebih rentan terhadap bahaya tertentu dan ini menjadi bagian dalam proses perencanaan (Landesman, 2001). Pendekatan akan bahaya dalam managemen bencana adalah kerangka kerja dalam fase persiapan bencana. Perencanaan bencana merupakan pendekatan terhadap berbagai potensi bencana yang memiliki keunikan sendiri sehingga perencanaan bencana yang komprehensif diperlukan (American Res Cross, 2004)

            Elemen pentimg dalam fase preparedness disini adalah mitigasi yaitu usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi dan meminimalkan berbagai elemen yang berpotensi menimbulkan bahaya (Federal Emergency Managemen Agency, 2007). Pengamanan logistik kebencanaan perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi bahaya. Persiapan seperti hal komunikasi, jalur perintah dan kontrol yang selama ini menjadi area dari pemerintah penting juga untuk dilaksanakan dalam setiap lapisan di model ekologikal ini. Terakhir, pelatihan, simulasi bencana adalah hal penting dalam elemen perencanaan. Pelajaran penting dapat diambil dari latihan diatas adalah untuk mengethui akan adanya kekurangan dalam rencana yang telah dibuat (Strasser, 2008).
Dalam  hal sosialisasi siaga bencana, dibutuhkan kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan sampai ke masyarakat atau kawasan yang rawan bencana. Indonesia merupakan negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk bangsa yang mampu merespons bencana dengan benar. Kerugian yang ditimbulkan karena bencana alam dapat dikurangi dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang dilakukan secara komprehensif yang mencakup pendekatan yang bersifat pencegahan, pengurangaan  risiko, tindakan kesiapsiagaan tanggap bencana, serta upaya pemulihan. Disamping itu, pendekatan yang mengedepankan pentingnya partisipasi dari semua tingkat pemerintahan, baik pemerintah pusat dan daerah, mengambil peran yang aktif dalam menciptakan manajemen bencana yang efektif. Pengalaman menunjukkan bahwa kehancuran akibat bencana dapat secara drastis dikurangi jika semua orang lebih siap menghadapi bencana .Kesiapsiagaan merupakan hal yang penting dan harus dibangun pada setiap tingkat kelompok di masyarakat. Dalam hal ini partisipasi publik dan pemangku kepentingan  (stakeholders) dalam penanganan bencana (Noor I, 2009).
Menurut Sudiharto (2011), peningkatan fungsi sistem deteksi dan peringatan dini merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk penanganan dan pengurangan bencana. Penyusunan disaster plan di level propinsi dan pembentukan infrastruktur yang bersifat fungsional harus dilaksanakan. Disaster plan ini tidak hanya terbatas pada emergency medik, tapi mencakup pula sistem komunikasi dan telematika, logistik kesehatan, pencegahan penyakit menular dan berbagai kegiatan spesifik lainnya. Selain itu, infrastruktur yang minimal pada saat bencana dan pasca bencana, anggota tim sebaiknya tidak terbatas pada sistem birokrat. Unit birokrasi disiapkan terbatas pada situasi normal. Perlu adanya campur tangan antara tenaga struktural di birokrasi kesehatan, fungsional dan pihak-pihak lain yang kompeten dalam bencana.

2. Fase Response
            Sebagaimana UU No. 24 tahun 2007, Peraturan Kepala BadanPenanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008 tentang Pedoman PenyusunanRencana Penanggulangan Bencana juga menyebutkan bahwa penanggulanganbencana terdiri dari beberapa fase, yaitu fase pencegahan dan mitigasi, fasekesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan  Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi, (Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya. Saat bencana (tanggap darurat) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Meliputi kegiatan: (1) penyelamatan dan evakuasi korban maupun harta benda, (2) pemenuhan kebutuhan dasar. (3) perlindungan, (4) pengurusan pengungsi, dan (5) penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
Sebuah fase respon/tanggap bencana yang efektif bergantung kepada pengkajian setelah bencana, kewaspadaan situasi, komunikasi, kolaborasi dan koordinai serta elemen kontrol dan pemberi perintah. Elemen respon ini sekali lagi terjadi pada setiap level dalam model ecological ini. Model Ekologikal menyarankan bahwa fase tanggap darurat bencana terjadi/dilaksanakan secara horizontal dan vertikal. Diantara struktur dalam satu lapisan atau dapat menyeberang ke lapisan lain. Sebagai contoh bila ada kejadian bencana di sebuah daerah, pemerintah lokal dapat menghubungi sistem bencana pusat (BNPB). Sistem pusat kemudian akan mengaktifkan sumber-sumber daya yang ada di tingkat pusat. Lebih lanjut model ini mangasumsikan bahwa fleksibilitas pada setiap level adalah kunci utama dalam penanganan bencana.

Tantangan Logistik :
Tantangan logistik dapat menjadi kendala utama dalam memberikan tanggap bencana yang cepat dan efektif (PBB, 2010). Tugas kepala bidang logistik kesehatan yaitu menyiapkan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan untuk penanggulangan bencana,  melakukan pencatatan dan pelaporan obat dan perbekalan kesehatan Melakukan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor (Ristrini, 2012).
Model penanganan bencana ekologi ini berpendapat bahwa elemen logistik dalam sebuah bencana dapat berefek pada hasil penanganan bencana. Sebagai contoh pada level tempat kerja, pertimbangan logistik termasuk akses atau kurangnya akses kepada disaster kit, atau kotak P3K selama fase respon bencana pada tempat kerja akan berpengaruh pada penanganan korban bencana di tempat tersebut.
Logistik dalam pengertian manajemen bencana berarti segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, baik pangan, sandang, papan, dan turunannya. Termasuk dalam kategori logistik ialah barang yang habis dikonsumsi, misalnya sembako, obat-obatan, selimut, pakaian dan perlengkapannya, air, tenda, jas hujan, dan sebagainya. Pada tahap pra, saat, dan pasca bencana, ketersediaan logistik yang cukup merupakan syarat mutlak karena berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup korban bencana. Untuk itu, penting bagi kita untuk mengetahui sistem dan manajemen logistik bencana.
Dan sekali lagi model managemen bencana berbasis ekologikal ini menyatakan bahwa tantangan logistik berupa ketersediaan logistik terjadi di semua tingkatan mulai dari individu dan keluarga hingga pemerintah.

Fleksibilitas
Model ini berasumsi lebih lanjut bahwa fleksibilitas dalam semua level adalah elemen  kunci untuk usaha dalam fase respon dan recovery. Karena kompleksnya dan karakter yang unik dari tiap bencana, fleksibilitas, kecerdikan dan imajinasi seringkali diperlukan (Strasser, 2008)..
Tantangan dalam logistik seringkali menghambat penanganan bencana. Kleindorefe mengidentifikasi adanya 3 sumber utama yang dapat mengganggu rantai penyediaan logistik. Yang pertama adalah masalah operasional seperti kegagalan peralatan, dan kegagalan sistem kerja, yang kedua tidak adanya sumber yang mampu memberikan bantuan, yang ketiga adanya gangguan bencana yang menghancurkan persediaan logistik. Rencana darurat, pengetahuan untuk mendapatkan sumber alternati atau sumber kedua diperlukan. Adanya rencana darurat ini telah banyak dilakukan penelitian dan digarisbawahi bahwa nilai rencana darurat ini penting untuk dibuat (Wharton, 2006).
Fleksibilitas atau kelenturan berarti kemampuan para korban bencana dan sistem untuk dapat beradaptasi terhadap situasi yang tidak diinginkan dan mampu bertahan menggunakan sumber daya yang ada dalam proses kreativitas.
Element respons atau respon elemen
Yang termasuk dalam elemen respon adalah kewaspadaan terhadap situasi, koordinasi, kolaborasi, dan elemen kontrol dan perintah.  Elemen respon ini terjadi pada setiap level dalam sistem ekologi ini. Model ini menyarankana bahwa elemen respon ini harusnya dapat terjadi pada setiap level model ekologikl. Sebagai contoh pemerintah desa dan pemerintah kota/kementrian dalam menangani bencana harus berkomunikasi secara efektif untuk mengkoordinasi usaha penanganan bencana (Strasser, 2008).
Pada dasarnya semua unsur penyelenggara komunikasi yang ada di Indonesia (milik pemerintah, milik swasta, milik perorangan, dll.) dapat dikerahkan oleh suatu badan, lembaga atau instansi yang berwenang mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan dan penanganan terhadap kejadian musibah/bencana/marabahaya (disaster), agar dapat tepat waktu dan tepat pola tindaknya pada saat keadaan emergency tersebut.  Dalam suatu keadaan darurat (disaster) baik dalam skala kecil, menengah dan besar, unsur komunikasi dan organisasi adalah salah-satu komponen (sub-system) yang berperan menentukan terhadap; berhasil atau kurang berhasil, bahkan gagalnya suatu operasi penyelamatan (search and rescue) dan pengerahan bantuan penanganan serta penanggulangan terhadap kejadian musibah/bencana (Team Orari jakarta, 2002)..


3.      Recovery dan Evaluasi
Tidak ada batas yang tegas untuk membedakan di mana kegiatan pada fase respon berakhir dan beralih menjadi fase recovery, kemudian ke pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Kemajuan di beberapa daerah lebih cepat dari pada daerah yang lain . Rehabilitasi fisik dan rekonstruksi kadang dapat terjadi lebih cepat dari pada rehabilitasi sosial atau psikologis. Keduanya diperlukan untuk pemulihan penuh. Tahap recovery ini juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan pencegahan dan meningkatkan kesiapsiagaan , sehingga mengurangi potensi konsekuensi kejadian bencana yang lain  (WHO, 2013).
Tahap recovery merupakan proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai tahap pemulihan ini, sebagian mengatakan bahwa tahap pemulihan (recovery) terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi baik dari fisik, psikologis dan komunitas (PNPM, 2008). Menurut UU No 24 Tahun 2007 mengenai penanggulangan bencana menyatakan bahwa Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, social dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Lain halnya dengan Bank Dunia dan ISDR mendefinisikan bahwa pemulihan (recovery) dan rekontruksi merupakan paket yang sama untuk memulihkan dan memperbaiki kondisi kehidupan seperti pra-bencana (TRIAMS, 2009). Tujuan dari recovery yaitu untuk membangun kembali kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang terkena dampak dan membangun kembali kawasan yang rusak . Ketika situasi bencana telah dikendalikan , populasi yang tidak terkena dampak berpartisipasi dalam kegiatan untuk memulihkan kehidupan masyarakat dan membangun kembali infrastruktur seperti kesehatan lingkungan untuk tempat tinggal, air bersih, dan fasilitas sanitasi
Model ekologi dirancang utnuk dapat saling terrhubung dari tingkat terkecil sampai tingkat terbesar, yaitu tingkat individu/keluarga, tingkat tempat kerja, tingkat komunitas, suku, pemerintah pusat, nasional dan internasional Dalam model ini dikatakan bahwa, usaha pemulihan (recovery) bencana dipengaruhi oleh keberlanjutan dan elemen rehabilitasi. Di tingkat pemerintah pusat elemen keberlanjutan mungkin termasuk kemampuan untuk menyediakan tempat penampungan bagi korban bencana dalam setiap upaya pemulihan berkepanjangan . Ditingkat masyarakat, rehabilitasi termasuk proyek pemulihan jangka panjang yang dirancang untuk membangun kembali infrastruktur masyarakat atau pengembalian kegiatan usaha dan kerja seperti sebelum bencana
(Beaton,2008).

Sustainbility
Usaha recovery dalam bencana dihipotesa dipengaruhi oleh Ketahanan dan elemen rehabilitasi.  Dalam level negara, ketahanan dapat berarti kemampuan negara dalam menyediakan tempat berlindung untuk korban bencana selama fase respon bencana (Strasser, 2008).
Sustainbility atau berkelanjutan dalam bencana berarti adanya pertolongan lebih lanjut bagi korban bencana setelah fase respon. Dijelaskan diatas salah satunya adalah dengan menyediakan tempat berlindung atau tempat penampungan untuk para korban bencana.

4.      Continuitas
Salah saru aspek yang penting dari model ekologi ini adalah adanya proses pembaharuan dalam sistem itu sendiri. Model ini mengasumsikan bahwa evaluasi dari respon dan usaha recovery saat bencana terjadi seharusnya dapat memberikan inormasi untuk perencanaan dan persiapan kedepan.

Fase respon dan recovery saat dan setelah terjadi bencana akan dipengaruhi oleh persiapan dan rencana kebencanaan yang telah ada. Setelah terjadi bencan maka perlu untuk dievaluasi hal apa saja yang menjadi kekurangan saat rencana dijalankan. Apakah ada rencana yang tidak berjalan? Apakah kendalanya dan bagaimana cara mengatasinya. Hal-hal seperti ini merupakan informasi berharga yang dapat menyempurnakan sistem atau managemen bencana yang ada sehingga persiapan dan renaca selanjutnya akan dapat berjalan lebih baik.


Baca Juga : PEMBERIAN LAYANAN INFORMED CONSENT PADA SETTING INSTALASI GAWAT DARURAT : PERAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA


DAFTAR PUSTAKA

Beaton, R, Brideges, E, dkk. 2008. Ecological Model of Disaster Management. AAOHN Journal : 56 (11), 471-478
Jasper E, Berg K, Reid M,  Gomella P, Weber D,  Schaeffer A, Crawford A,  Mealey K, Berg D. 2013. Disaster preparedness: what training do our interns receive during medical school?.The Official Journal Of The American College Of Medical Quality [Am J Med Qual.  Vol. 28 (5), pp. 407-13. ISSN: 1555-824X
Noor Indrastuti. 2009. Modul Ajar Pengintegrasian Penguranagan Resiko Banjir. Jakarta : Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional
PNPM Mandiri (2008). Modul Khusus Fasilitator : Penanganan Pengelolaan Bencana. Direktorat Jenderal Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum
Sudiharto. 2011. Manajemen Disaster. Badan Penegmbangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI
Sunarti Euis (Ed). (2009). Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson Learned 2006-2007)
Trisnantoro, Laksono. 2007. Aspek Govermance Dalam Bencana. Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM
TRIAMS. (2009). Lessons learned in post-crisis recovery monitoring ; Tsunami Recovery Impact Assessment and Monitoring System. Bangkok

WHO. (2013). Environmental Health in Emergencies; Recovery. http://www.who.int/environmental_health_emergencies/recovery/en/ diakses tanggal 10 November 2013.


0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes