Instalasi Gawat Darurat (IGD)
merupakan salah satu unit di rumah sakit yang memberikan pelayanan kepada
penderita gawat darurat dan merupakan bagian dari rangkaian upaya
penganggulangan penderita gawat darurat yang perlu diorganisir. Instalasi Gawat
Darurat harus dapat Mencegah kematian dan cacat pada penderita gawat darurat
hingga dapat hidup dan berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya
(Departemen Kesehatan RI, 1992). Di dalam ruangan IGD, seringkali petugas
berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pada kondisi Gawat
Darurat, tindakan penyelamat secara cepat menjadi baku standart pelayanan di
IGD manapun.
Dalam keadaan tertentu, pelaksanaan Persetujuan Tindakan
Medik/Informed Consent sebelum pelayanan terhadap pasien tidak selalu mudah
untuk dijalankan. Hal ini dirasakan terutama apabila pasien korban kecelakaan
lalu lintas dalam keadaan tidak sadar dibawa ke Unit Gawat Darurat. Keadaannya
sudah sangat gawat dan tidak ada waktu lagi untuk mencari atau menghubungi
anggota keluarganya terlebih dahulu untuk minta Persetujuan Tindakan
Medik/Informed Consent. Akibatnya dalam keadaan ini dokter harus segera
mengambil tindakan penyelamatan sesegera mungkin bagi pasien. Dilakukannya
tindakan medik ini karena semata-semata untuk menolong jiwa pasien. Padahal,
langkah untuk segera menyelamatkan jiwa pasien adalah lebih tinggi
kepentingannya daripada masalah memperoleh Persetujuan Tindakan Medik/Informed
Consent itu sendiri (Poernomo B, 2001).
Keadaan ini pada akhirnya seringkali menjadi dilema di
kalangan petugas kesehatan sendiri. Secara hukum, mereka menjadi rentan
tuntutan apabila tidak mempunyai informed consent sebelum melakukan tindakan.
Keadaan tidak menjadi lebih baik juga sebaliknya, apabila petugas menunggu adanya
keluarga untuk memberikan informed consent dan pasien tidak tertolong karena
penanganan yang terlambat. Penggunaan informed consent di setting gawat darurat
memerlukan aturan yang berbeda dengan ruangan lainnya.
Informed Consent
Selama lebih dari 40 tahun
sejak pertama kali dikemukakan dalam sebuah kasus hukum di Amerika Serikat
tepatnya pada tahun 1957, konsep dari informed consent telah menjadi topik
utama dalam disiplin ilmu hukum kesehatan dan bioetik yang tengah berkembang
saat ini. Dengan berbagai macam penelitian dari Universitas-Universitas, topik
ini berevolusi dan berinterprestasi. Informed consent dalam penatalaksanaan
medis dan lawannya, penolakan penatalaksanaan medis, telah diakui sebagai aspek
legal dan hak moral yang penting (Moskop, 1999). Pelayanan medis yang modern dan
profesional memberikan pilihan kepada pasien melalui informed consent sebagai
prinsip dasar yang benar untuk pasien. Dengan Informed consent, pasien/keluarga
berhak menerima atau menolak tindakan medik yang akan dilakukan pada dirinya.
Pelayanan informed consent ini sebagai bentuk pelayanan yang profesional dari
tenaga kesehatan akan pentingnya penyampaian informasi kepada pasien dan
keluarga sebelum mengambil keputusan (Amri, 1997). Informasi
atau penjelasan ini wajib diberikan
dokter secara langsung kepada pasien baik diminta ataupun tidak oleh pasien,
kecuali pasien memang menolak diberi penjelasan dengan alasan untuk ketenangan
jiwa. Hal ini berkaitan dengan masalah pertimbangan satu dan lain alasan menghadapi
keadaan fisik/mental/sikap dari akibat ketakutan/kegoncangan jiwa pasien
(Purnomo B, 2001).
Secara harafiah, Pengertian informed consent berasal
dari kata “informed” yang berarti telah mendapat penjelasan, dan kata “consent”
yang berarti telah memberikan persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud informed
consent ini adanya persetujuan yang timbul dari informasi yang dianggap
jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya
sehubungan dengan keperluan diagnosa dan atau terapi kesehatan (Amri, 1997).
Pernyataan mengenai informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran
sendiri telah dinyatakan secara jelas dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 290/Menkes/Per/III/2008. Di dalam ketentuan
itu dinyatakan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien. Pasal 1 ayat 3 tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa
preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien.
Informed
consent berisikan dua
hak pasien yang essensiil dalam relasinya dengan dokter. Hak tersebut
adalah hak atas informasi dan hak atas persetujuan atau consent I( Karbala,
1993). Penjelasan informasi mengenai
tindakan yang akan dilakukan pada pasien harus diberikan secara jelas dan
diberikan langsung pada pasien baik pasein meminta atau tidak (Peraturan
Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 7 ayat (1)). Mengenai hak atas persetujuan terdapat dalam
Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/MENKES/PER/III/2008 Pasal 2, “Semua
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan”.
Tujuan adanya Informed Consent ini sendiri adalah untuk melindungi, baik
untuk pasien sendiri maupun untuk petugas kesehatan. Amir A dan Muchtar R, (1987)
menyatakan bahwa dengan adanya surat izin tindakan medis maka dokter yang
melakukan pemeriksaan, pengobatan dan tindakan medis merasa lebih aman terhadap
kemungkinan tuntutan penderita maupun keluarga terhadap hal-hal yang tidak
diingini. Sedangkan selanjutnya Poernomo B, (2001) mengatakan Persetujuan Tindakan
Kedokteran merupakan bentuk perlindungan terhadap pasien dari segala tindakan
medik yang mungkin tidak diinginkannya.
Tujuan
dari Informed Consent ini sendiri selaras dengan UU 29/2004 Pasal 52 yang berisi tentang Hak pasien yaitu
: 1) Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; 2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi
lain; 3) Mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis; 4) Menolak tindakan rekam medis; 5)
Mendapatkan isi rekam medis. Dan Secara
yuridis hak yang terdapat pada pasien dalam doktrin informed consent yaitu:
1) Hak untuk memperoleh informasi mengenai penyakitnya dan tindakan apa yang
hendak dilakukan dokter terhadap dirinya. 2) Hak untuk memperoleh jawaban atas
pertanyaan yang diajukannya. 3) Hak untuk memilih tindakan alternatif jika ada.
4) Hak untuk menolak usul tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya.
Dengan
telah diinformasikannya tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter, maka
selanjutnya pasien dapat mempergunakan haknya untuk memilih, menyetujui atau
menolak tindakan medik termasuk. Jadi pada hakekatnya hak atas Persetujuan
tindakan kedokteran ini merupakan pelaksanaan hak dasar atas pelayanan
kesehatan (the riht to health care) dan hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right of self determination) yang keduannya adalah hak
pasien atas kesehatan yang harus diakui dan dihormati.
Setelah
pasien diberi penjelasan maka keputusan untuk menerima atau menolak tindakan
perawatan yang ditawarkan dokter mutlak berada ditangan pasien itu sendiri. Hak
untuk menolak perawatan ini disebut dengan Informed refusal, namun dalam
keadaan seperti ini dokter juga harus menerangkan secara rinci akibat dari
penolakan tersebut. Jika pasien tetap menolak perawatan makapasien harus
menandatangani formulir surat penolakan tindakan medis yang sudah disiapkan
oleh rumah sakit.
Informed consent di UGD
Pada saat pasien mendatangi dokter untuk meminta bantuan perawatan terhadap
keluhan yang dirasakan, maka sejak saat itu terjadi hubungan antara dua pihak
yang berdasar atas saling percaya (Samil RS, 2001). Poernomo B, (2001)
menyatakan perlidungan terhadap tenaga kesehatan atau dokter yang melakukan
tindakan medik tetapi menghadapi akibat yang tidak terduga serta dianggap
merugikan pihak lain, maka tindakan medik yang bermasalah itu memperoleh
perlindungan berdasarkan “risk of treatment” dan “eror of judgement”.
Peristiwa “risk of treatment” adalah kejadian yang tidak dapat
dihindarkan walupun sudah berusaha pecegahan sedapat mungkin dan bertidak
dengan hati-hati risiko tersebut. Peristiwa “ error of judgement”adalah
sebagai manusia tidak akan terhindari dari
kesalahan yang wajar , maka bisa saja diagnosa atau terapi yang ditegakkan
ternyata keliru dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian tidak ada
seorangpun yang bisa menjamin hasil akhir dari tindakan medis yang diberikan
seorang dokter kepada pasien.
Sementara
itu, Soedjatmiko menyatakan bahwa, melakukan tindakan tanpa disertai
persetujuan tindakan kedokteran merupakan salah satu keadaan yang dapat
menyebabkan terjadinya tuntutan malpraktek pidana karena kecerobohan. Dalam hal dokter
tidak memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar profesi, dan kemudian
mengakibatkan cacat atau meninggalnya pasien, maka dokter ini telah melakukan
pelanggaran terhadap hak pasien untuk memperoleh pelayanan yang manusiawi
tersebut, sehingga pasien berhak menuntut kepada dokter yang bersangkutan.
Persetujuan
secara tertulis mutlak diperlukan bagi tindakan kedokteran yang mengandung
resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan
kedokteran yang tidak mengandung resiko tinggi. Umumnya disebutkan bahwa contoh
tindakan yang berisiko tinggi adalah tindakan invasif (tertentu) atau tindakan
bedah yang secara langsung mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh. Persetujuan
tertulis dibutuhkan pada keadaan sebagai berikut: 1) Bila tindakan terapeutik
bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna. 2)
Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi. 3) Bila tindakan
kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian
atau kehidupan pribadi dan sosial pasien. 4) Bila tindakan yang dilakukan
adalah bagian dari suatu penelitian (Tim Penyusun Konsil Kedokteran, Op.Cit,
2006).
Implied Consent adalah persetujuan yang diberikan pasien secara tersirat tanpa
pernyataan tegas. Isyarat persetujuan ini ditangkap dokter dari sikap dan
tindakan pasien. Umumnya tindakan dokter disini adalah tindakan biasa atau
sudah diketahui umum. Misalnya pasien yang datang ke praktek lalu dokter
melakukan pemeriksaan dasar seperti pemeriksaan tekanan darah dan palpasi
jantung secara umum maka secara tersirat pasien sudah menyetujui apa yang
dilakukan oleh dokter. Tindakan ini dianggap layak dilakukan dokter walaupun
tanda memberikan informasi sebelumnya.
Juga
dalam keadaan pasien yang membutuhkan perawatan ataupun tindakan medis dengan
segera misalnya pasien dalam keadaan tidak sadar sementara situasi gawat dan
darurat maka dokter dapat mengambil tindakan segera walaupun tidak memberikan
penjelasan ataupun informasi kepada pasien ataupun keluarganya karena dalam hal
ini yang dibicarakan adalah waktu. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam
PerMenKes No. 585 tahun 1989 pasal 11 yang berbunyi “Dalam hal pasien tidak
sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik
berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medis
segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun”.
Tapi seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No
209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed
consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa
dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga
terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan
penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada
keluarga terdekat”. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk
penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya
untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan untuk dijelaskan secara lebih
detail apakah yang dimaksud dengan keadaan Gawat Darurat. Gawat darurat terdiri
dari dua pernyataan yaitu Gawat dan Darurat. Gawat berarti ada ancaman terhadap
nyawa seseorang. Sedangkan Darurat berarti pasien memerlukan penanganan yang
segera. Sehingga arti kata gawat darurat adalah pasien yang memiliki status
kesehatan yang memiliki ancaman terhadap nyawanya dan diperlukan penanganan
yang segera. Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin
informed consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu
keadaan dimana : a). Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed
consent, baik dari pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin) b).
Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda c).
Suatu tindakan harus segera diambil d.
Untuk menyelamatkan jiwa pasien atau anggota tubuh.
Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering
merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter – pasien
didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai
bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban
yang timbul pada
dokter berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship).
Dalam keadaan
darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari
keduabelah pihak juga tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan
gawat darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme (Herkutanto,2007).
Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan
perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama
diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara
sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat (Mancini
MR, 1981). Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good
Samaritan yang harus dipenuhi adalah (Mancini MR, 1981) : 1).
Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada
harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk
apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka
doktrin tersebut tidak berlaku. 2). Itikad baik pihak penolong.
Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal
yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak
perlu untuk menambah keterampilan penolong (Mancini, 1981).
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga
kesehatan karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau
pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan
itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause) (Holder
AR, 1972). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat
darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa
tersebut terjadi. Jadi, tepat atau
tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan
yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula
(Soekanto S, 1987).
Komunikasi yang baik dengan memberikan informasi mengenai alternati
pengobatan dapat dilakukan sehingga pasien memiliki pilihan yang dapat mereka
setujui seringkali menjadi komponen penting dari hubungan profesional dengan
pasien. Meskipun informed consent penting, kewajiban untuk mendapatkan informed consent dari pasien untuk
tindakan tidak menjadi sesuatu yang absolut. Beberapa pengecualian biasanya
dikenali dan dapat diterima. Salah satu pengecualian itu terkait langsung
dengan kondisi gawat darurat. Berdasarkan kondisi yang gawat darurat ini, jika
kemudian perawatan yang segera diperluka untuk mencegah kematian atau bahaya
yang serius untuk pasien, maka penatalaksanaan ini dapat dilakukan tanpa adanya
informed consent. Tapi pengecualian ini juga jangan sampai menjadi sebuah
paradigma yang salah. Dalam sebuah penelitian kepada lebih dari 6000 kunjungan
di US emergency departments (EDs), hampir 49% kunjungan yang
ditangani ternyata bukan merupakan kondisi darurat, sehingga pengecualian
kondisi gawat darurat untuk mendapatkan informed consent dalam hal ini tidak
berlaku.
Baca Juga: MANAJEMEN BENCANA MENGGUNAKAN MODEL EKOLOGI
Baca Juga: MANAJEMEN BENCANA MENGGUNAKAN MODEL EKOLOGI
Peran Hukum Dalam
Penyelesaian Sengketa Kesehatan/Medis
Sebagai mahluk
monodualisme, manusia harus selalu menjaga keseimbangan antara dirinya sebagai
individu dan mahluk sosial. Fenomena sosial yang terjadi saat ini telah merubah
peradaban manusia pada penghargaan diri atau pengakuan otoritas individu.
Dampak dari kebutuhan akan pengakuan terebut adalah timbulnya konflik yang bisa
muncul kapan saja dan dimana saja. Kapasitas konflik dimulai dari tingkat
pribadi, keluarga hingga masyarakat atau bahkan tingkat negara. Konlik tentu
tidak menguntungkan dari aspek budaya
maupun kehidupan bermasyarakat, karena itulah sedapat mungkin dicarikan
solusinya (Indra Bastian, Suryono, 2011).
Arti kata
sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang menyebabkan
perbedaan pendapat, pertengkaran, perbantahan atau dapat juga diartikan sebagai
pertikaian atau perselisihan. Sengketa dalam pengertian luas adalah hal yang
lumrah dalam kehidupan bermasyarakat, yang dapat terjadi saat dua orang atau
lebih berinteraksi pada peristiwa atau situasi dan mereka memiliki persepsi,
kepentingan, dan keinginan yang berbeda terhadap peristiwa atau situasi
tersebut. Jadi sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah mencapai eskalasi
tertentu atau mengemuka. Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman,
perbedaan penafsiran, ketidak-jelasan pengaturan, ketidakpuasan,
ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang tidak patut, curang atau tidak
jujur, kesewenang-wenangan atau ketidakadilan, dan terjadinya keadaan yang
tidak terduga (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2005)
Sengketa medis
dalam hukum dikenal juga dengan istilah malpraktik. Sebenarnya dari asal
katanya malpraktik tidak hanya ditujukan pada profesi kesehatan saja tetapi
juga profesi pada umumnya, namun setelah secara umum mulai digunakan di luar
negeri maka istilah itu sekarang diasosiasikan atau ditujukan pada profesi
kesehatan. Pengertian malpraktik adalah any professional misconduct or
unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary
duties, evil practice or illegal or immoral conduct (Black’s Law
Dictionary, 2005). Pemahaman malpraktik sampai sekarang masih belum seragam.
Dengan belum diaturnya malpraktik dalam peraturan perundang-undangan yang ada
sekarang ini (tidak mempunyai kepastian hukum), penanganan dan penyelesaian masalah
malpraktik juga menjadi tidak pasti. Masalah tersebut ditambah dengan belum
adanya (dan hampir tidak mungkin dilakukan) standarisasi standar pelayanan
profesi kesehatan. Hal itu disebabkan masalah kesehatan amat kompleks, mulai
dari dampak penerapan pelayanan kesehatan pada tiap manusia yang berbeda-beda sampai
dengan beragamnya teknologi di tiap sarana pelayanan kesehatan dan kemampuan
setiap komunitas dokter atau tenaga kesehatan lainnya (Albert, 2009).
Pola hubungan
dokter-pasien yang berubah dari tipe patrenalistik menjadi ke arah hubungan
yang lebih simetris menjadikan munculnya berbagi perbedaan kepentingan para
pihak. Dokter yang masih konvensional (patron-client) menganggap bahwa pasien
yang datang ke klinik atau tempat praktiknya adalah orang yang membutuhkan
profesinya dan masih memposisikan pasien sebagai pihak yang lemah, sedangkan
dokter menganggap dirinya pada posisi yang tinggi dan harus selalu dituruti.
Akibatnya, dokter tidak membuka kesempatan bagi pasien untuk bertanya, tidak
memberikan alternatif perawatan penyakitnya dan akdang lebih parah menganggap
pasien sebagai benda mati (Indra Bastian, Suryono, 2011).
Sumber Konflik
dalam pelayanan kesehatan dapat bersumber dari empat aspek utama yaitu
permasalahan hubungan, permasalahan data, permasalahan struktural dan
permasalahan perbedaan nilai. Yang termasuk dalam permasalahan hubungan adalah
adanya emosi yang kuat, mispersepsi, komunikasi yang buruk, perilaku negatif yang
diulang-ulang. Yang termasuk kedalam permasalah data adalah kurangnya
informasi, perbedaan pandangan tentang apa yang dibutuhkan, dan perbedaan
interpretasi dat. Yang termasuk dalam permasalagan struktural adalah sumber
daya, waktu, faktor geografis, kekuatan/kewenangan dan pengambilan keputusan.
Sedangkan permasalah perbedaan nilai biasanya terkait dengan budaya dan norma
daerah setempat.
Regulasi penyelesaian Sengketa
Masalah hak
dan kewajiban sering kurang dipahami sehingga ketika pasien tidak sembuh atau
pelayanannya dianggap kurang memuaskan, muncul tuduhan dokter melakukan malpraktik
atau RS dianggap menipu. Sarana Pelayanan Kesehatan lebih ngotot dalam hal
menuntut hak dan kadang lupa melaksanakan kewajibannya. Di lain pihak, pasien
kadang tidak dapat memenuhi kewajiban seperti pembayaran biaya pengobatan.
Masalah tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU No.29 tahun 2004 pasal 50-53.
Pasien sebaiknya mengerti bahwa haknya adalah untuk mendapatkan penjelasan
secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping,
resiko, komplikasi dan lain halnya. Oleh karena itulah rekam medis sebenarnya
milik pasien dan pasien berhak untuk meminta salinannya. Pasien juga di lain
pihak berkewajiban untuk memberikan informasi selengkap-lengkapnya, mematuhi
nasihat atau anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di SPK, dan
membayar semua biaya pelayanan kesehatan.
Bila ada
masalah diantera kedua-belah pihak, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak
demi kebaikan bersama. Pasien bisa mengadu ke lembaga profesi yaitu Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran/Gigi (MKEK/GI). Seorang dokter dikatakan melanggar etika
apabila melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan mutu profesional. Dalam
bidang Kesehatan, melanggar etika merupakan pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip moral serta nilai dan kewajiban yang meminta diambilnya
tindakan berupa teguran atau skorsAdapun untuk masalah yang berkaitan dengan
kinerja/tindakan dokter didalam praktiknya, pasisen dapat mengadukan ke Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang anggotanya terdiri atas
tokoh masyarakat, sarjana hukum dan dokter.
Konsep
etikolegal merupakan sebuah pandangan yang saling mempengaruhi antara etika dan
hukum. Paradigma etikolegal adalah cara berpikir bahwa dalam pelayanan
kedokteran dan kesehatan, hukum merupakan kristalisasi dari etik, sehingga
pembentukan dan penerapannya tidak boleh mengesampingkan etika karena masih
merupakan suatu proses yang berkesinambungan dengan hukum. Konsep etikolegal memandang
perlunya pencermatan secara profesional atas setiap pengaduan sengketa medis,
khususnya untuk wilayah etis yang secara proesional harus diselesaikan sendiri
melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran/Gigi (MKEK/GI) dan wilayah hukum
yang mengacu pada sistem perundangan yang berlaku di negara republik indonesia.
Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan sebuah Konsil Kedokteran yang antara lain
bertugas untuk mengawasi, memproses, dan menyelenggarakan pengadilan sengketa
medis untuk melindungi pasien dan dokter dan salah satu fungsi hukum adalah
alat penyelesaian sengketa atau konlik. Di samping fungsi yang lain sebagai
alat pengendalian dan rekayasa sosial.
Untuk mengetahui
apakah profesi dokter dan bidang kesehatan lainnya merupakan pelaku usaha atau
bukan maka kita harus melihat UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, Black’s
Law Dictionary, dan WTO/GATS bidang kesehatan. Tenaga kesehatan adalah setiap
orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan
dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (UU No.36 tahun
2009 tentang kesehatan). Black law dictionary menyatakan bahwa business
(kegaitan usaha dalam bidang ekonomi) meliputi employment, occupation, proffession,
or commerial activity engaged in/or gain or livelihood (segala kegiatan untuk
mendapatkan keuntungan/mata pencaharian). Keputusan menteri kesehatan RI no.756/MENKES/SK/VI/2004
tentang persiapan liberasi perdagangan dan jasa dibidang kesehatan, berarti UU
no.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juga dapat diberlakukan pada
bidang kesehatan.
Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Dalam proses
penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi
(pengadilan) dan non litigasi/ konsensual/non-ajudikasi. Kita semua
dapat memahami bahwa proses beracara di pengadilan adalah proses yang membutuhkan
biaya dan memakan waktu. Karena sistem pengadilan konvensional secara alamiah
berlawanan, seringkali menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak
lainnya sebagai pihak yang kalah. Sementara itu kritik tajam terhadap lembaga peradilan dalam
menjalankan fungsinya yang dianggap terlampau padat, lamban dan buang waktu,
mahal dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau
formalistik dan terlampau teknis. Itu sebabnya masalah peninjauan kembali perbaikan
sistem peradilan ke arah yang efektif dan efisien terjadi dimana-mana. Bahkan
muncul kritik yang mengatakan bahwa proses perdata dianggap tidak efisien dan
tidak adil (civil procedure was neither efficient no fair)7
Alternatif
penyelesaian sengketa sebenarnya telah lama dikenal dan digunakan masyarakat
indonesia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Masyarakat indonesia
mempunyai basis kultural yang dalam banyak hal, lebih suka musyawarah langsung
diantara mereka yang bersengketa untuk mufakat. Jika terjadi kebuntuan, barulah
mereka minta bantuan pihak lain (Kepala desa, kepa suku, ketua RT dan lainnya) (Jonathan,
2010)
Berdasarkan
hal-hal di atas muncul ide untuk menyelesaikan sengketa dugaan malpraktik
tersebut secara win-win solution, salah satunya adalah dengan mediasi. Proses
mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute
resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian masalah. Mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi itu sendiri dapat dilakukan
melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan dengan menggunakan mediator
yang telah mempunyai sertifikat mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu
para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Dengan
ditetapkannya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 01
Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, telah terjadi perubahan
fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang
diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara
pihak-pihak yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai
lembaga penegakan hukum dan keadilan, sekarang menampakkan diri sebagai lembaga
yang mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Konsideran
yang mendasari sehingga ditetapkannya Perma Nomor 01 Tahun 2008 adalah: 1.
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan
murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihakmenemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. 2. Pengintegrasian
mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di
samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif) 3. Hukum acara
yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak
untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan
negeri 4. Sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan
wewenang mahkamah agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur
oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan
kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa
perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.
Mediasi dalam
Sengketa Medis
Profesi
kedokteran merupakan profesi tertua di dunia. Profesi kedokteran juga merupakan
profesi pertama yang bersumpah untuk mengabdikan dirinya bagi kemanusiaan.
Hubungan dokter pasien pada dasarnya dilandasi kepercayaan. Walaupun masih
memerlukan kajian yang lebih spesifik, ketidakpercayaan kepada dokter ditandai
dengan mempertanyakan pengetahuan, kemampuan, perilaku dan manajemen pasien
dari si dokter. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa seringkali dokter
dituntut pasien dengan hal-hal yang tidak berhubungan sama sekali dengan
kualitas perawatan kesehatan yang diberikan dokter. Perubahan terminologi dari
pasien ke konsumen atau klien mentransformasi perubahan konsep hubungan dokter pasien
ke konsep hubungan “jasa pelayanan.” Ironisnya seringkali hubungan itu tidak
meletakkan kepentingan yang terbaik untuk pasien sebagai kepentingan utama oleh
karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengetahuan antara kedua belah pihak.
Perkembangan ketersediaan informasi kesehatan melalui berbagai media turut
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh dokter. Selain itu juga harus
dipahami bahwa ilmu kedokteran tidaklah menjanjikan hasil melainkan upaya
maksimal yang dapat dilakukan (inspanning verbintennis). Lebih jauh
akibat pengaruh intelektual dekonstruksionis yang akarnya terletak pada pengertian
good dalam perspektif pasien mempengaruhi otonomi profesi. Dahulu good
atau benefit merupakan domain para ahli pengobatan (dokter)
dalam situasi paternalistik. Ternyata sejalan dengan perkembangan zaman pengertian
good tetap dalam kerangka “berbuat baik” dalam konteks dokter berubah
menjadi benefit pasien dengan mempertimbangkan keputusan dan harapan pasien itu
sendiri. Berdasarkan uraian di atas sebenarnya proses mediasi merupakan upaya
yang tepat dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali
dalam proses pidana murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan rahasia kedokteran,
aborsi serta kelalaian berat, keterangan palsu, penipuan dan lain-lain.
Penyelesaian melalui jalur litigasi akan merugikan kedua belah pihak.
3. Penutup
Pengertian informed consent berasal dari kata “informed”
yang berarti telah mendapat penjelasan, dan kata “consent” yang
berarti telah memberikan persetujuan. Dengan demikian yang dimaksud informed
consent ini adanya persetujuan yang timbul dari informasi yang dianggap
jelas oleh pasien terhadap suatu tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya
sehubungan dengan keperluan diagnosa dan atau terapi kesehatan (Amri, 1997). Dalam
keadaan tertentu, pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent
sebelum pelayanan terhadap pasien tidak selalu mudah untuk dijalankan. Hal ini
dirasakan terutama apabila pasien korban kecelakaan lalu lintas dalam keadaan
tidak sadar dibawa ke Unit Gawat Darurat. Keadaannya sudah sangat gawat dan
tidak ada waktu lagi untuk mencari atau menghubungi anggota keluarganya
terlebih dahulu untuk minta Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent.
Akibatnya dalam keadaan ini dokter harus segera mengambil tindakan penyelamatan
sesegera mungkin bagi pasien. Dilakukannya tindakan medik ini karena
semata-semata untuk menolong jiwa pasien. Padahal, langkah untuk segera
menyelamatkan jiwa pasien adalah lebih tinggi kepentingannya daripada masalah
memperoleh Persetujuan Tindakan Medik/Informed Consent itu sendiri (Poernomo B,
2001).
Pola hubungan
dokter-pasien yang berubah dari tipe patrenalistik menjadi ke arah hubungan
yang lebih simetris menjadikan munculnya berbagi perbedaan kepentingan para
pihak. Dokter yang masih konvensional (patron-client) menganggap bahwa pasien
yang datang ke klinik atau tempat praktiknya adalah orang yang membutuhkan
profesinya dan masih memposisikan pasien sebagai pihak yang lemah, sedangkan
dokter menganggap dirinya pada posisi yang tinggi dan harus selalu dituruti.
Akibatnya, dokter tidak membuka kesempatan bagi pasien untuk bertanya, tidak
memberikan alternatif perawatan penyakitnya dan kadang lebih parah menganggap
pasien sebagai benda mati Indra Bastian, Suryono, 2011).
Alternatif
penyelesaian sengketa sebenarnya telah lama dikenal dan digunakan masyarakat
indonesia dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Masyarakat indonesia
mempunyai basis kultural yang dalam banyak hal, lebih suka musyawarah langsung
diantara mereka yang bersengketa untuk mufakat. Jika terjadi kebuntuan, barulah
mereka minta bantuan pihak lain (Kepala desa, kepa suku, ketua RT dan lainnya)
(Jonathan, 2010) Berdasarkan hal-hal di atas muncul ide untuk menyelesaikan
sengketa dugaan malpraktik tersebut secara win-win solution, salah
satunya adalah dengan mediasi.
Daftar
Pustaka
Aktualpost.com, 2013. Inilah Kronologi Kasus dr.Ayu sebenarnya.
Diakses 16 Desember 2013 http://www.aktualpost.com/2013/11/27/5807/inilah-kronologi-kasus-malpraktek-dr-ayu-selengkapnya/.
Amir A. , Mochtar, R . , 1987 Surat Izin
Tindakan Medis, Makalah pada Seminar PERHUKI, Medan
Amir A. , 2001. Aspek Hukum Dari Persetujuan
Tindakan Medis (informed Consent) Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji dam Malik
Medan
Ameln F. , 1991.
Kapita Selekta Hukum Kedokteran, cetakan pertama, Jakarta : PT Grafikatama
Jaya.
Amril Amri, Bunga
Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 1997, hal. 31.
Brunner & Suddarth.
Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Alih bahasa : Agung waluyo. Edisi ke – 8. Jakarta. EGC, 2001
Black’s
Law Dictionary, 7 ed. Minnesota: West Publishing Company; 1999.
Departemen Kesehatan RI ,
1992. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
Jakarta : Yayasan Bakti Sejahtera KORPRI Unit DEPKES.
Fraser
JJ. Technical report: alternative dispute resolution in medical malpractice. Paediatric 2001;107(3):602-7.
Husein Kerbala, Op. Cit,
hlm 8.
Hanafiah, MJ. , Amir A. ,
1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, cetakan ketiga, Medan : Universitas
Sumatera Utara.
Indra Bastian,
Suriono,2011. Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Penerbit Salemba Medika : Jakarta
Purnomo B. , 2001. Hukum
Kesehatan, Yogyakarta : Aditya Media
Samil RS. , 2001. Etika
Kedokteran Indonesia, edisi kedua, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.
Tim Konsil Kedokteran
Indonesia, Manual Rekam Medis, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta,
2006, hlm. 9.
Soekanto
S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta: CV Remadja Karya; 1987.
Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 2005.
Sampurna
B. Wewenang dan tanggung jawab dokter pada tindakan bedah kulit kosmetik. Maj Kedokt Indon
2001;51(11):417-20.
Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor: 290/Menkes/Per/III/2008.
Peraturan Menteri
Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medis
Peraturan Menteri
Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam Medis
Peraturan Menteri
Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah
Agung Republik
Indonesia.
Undang-undang No. 29/
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
0 comments:
Post a Comment