Dari
segi letak geografisnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat
beresiko untuk terjadi bencana alam, baik itu gempa bumi, banjir, tsunami,
gunung meletus, maupun longsor.Penanganan yang tepat untuk menghadapi bencana
sangat diperlukan sekali mulai dari fase kesiapsiagaan sampai dengan rehabilitasi.Karena manajemen bencana merupakan kegiatan yang
sangat kompleks. Jauh lebih kompleks dibanding manajemen kesehatan dalam
kondisi biasa. Sehingga perlu pendekatan yang komprehensif termasuk aspek
govermance dalam menangani bencana (Trisnantoro L, 2007).
Akan
tetapi, kondisi yang terjadi selama ini, penanganan bencana masih kurang
efektif dan bersifat parsial karena penanganan masih lebih sering hanya pada
pemberian bantuan fisik selama bencana terjadi serta penanganan kondisi
kegawatdaruratan.Kerjasama lintas sektor dalam kesiapsiagaan bencana dinilai
masih sangat minim. Perlu penguatan dari seluruh lapisan mulai dari pemerintah
pusat, pemerintah daerah sampai dengan
masyarakat untuk melakukan kesiapsiagaan bencana karena kesiapsiagaan merupakan
hal yang penting dan harus dibangun pada setiap tingkat kelompok di masyarakat
(Noor I, 2009).
Manajemen
bencana menggunakan model ekologi dimungkinkan sangat tepat sekali untuk
diterapkan karena tiap-tiap fase dalam bencana melibatkan seluruh lapisan
komponen yang terlibat didalamnya mulai dari individu dan kelaurga sampai
dengan pemerintah pusat.
2.1 Model Ecological
dalam Managemen
Bencana
Model ekologikal dari managemen
bencana ini menyediakan kerangka kerja untuk memandu perawat yang ingin
mengembangkan program managemen bencana. Model ecological ini berasumsi bahwa
perencanaan bencana, persiapan, respon dan recovery terjadi pada setiap level
di dalam organisasi. Bentuk ‘sarang’ ini meningkatkan level organisasi yang
komplek mencakup level individu, keluarga, tempat kerja, komunitas, wilayah,
suku, negara dan internasional. Model ecological ini mengajuhan hipotesa bahwa
setiap level ini berinteraksi dan interaksi dinamis ini menentukan perencanaan
bencana, persiapan, dan elemen respon, kendala logistik dan fleksibilitas,
sustainability dan rehabilitasi terjadi pada setiap level dari model bencana
ini. Akhirnya, model ini bersumsi bahwa usaha eveluasi dari respon dan recovery
seharusnya dapat memberikan masukan kepara persiapan dan perencanaan bencana di
masa mendatang.
Model kegawatdarurtan untuk
persiapan, respon dan recovery mendapatkan tantangan yang kompleks dan tidak
mudah. Meskipun bermacam model managemen bencana telah dibuat untuk menjelaskan
urutan kejadian dan aktivitas yang harus terlaksana di persiapan sebelum
benccana, selama dan sesudah bencana, tidak ada usaha sistemtis untuk
mengkonsepkan dan membuat model atau kerangka kerja yang menegskan pengaruh
dari bermacam sitem dan organisasi tang terkena efek selama siklus penanganan
bencana(Jennings-Saunders, 2004;
Veenema, 2007; Wisner & Adams, 2002)..
Model ecological yang
dijelaskan dalam makalah ini menyediakan contoh spesifik dan umum dari
persiapan, respon dan recovery. Menegaskan faktor spesifik untuk diperhitungkan
ketika menerapkan program penanggulangan bencana dalam area masyarakat.
2.2 Ecological
Teori dan Model Ecological untuk bencana
Dasar pemikirn utama dalam
model ecological ini adalah bahwa sistemnya dinamis, masuk kedalam dan semua
hal berhubungan dengan hal lainnya. Hubungan antar manusia dan interksinya
dapat dimengerti melalui konteks ecological yang dikonsepkan kedalam berbagai
level atau lapisan yang meningkatkan kompleksitas organisasi.
Model ecological ini terdiri
dari bentuk sarang atau lapisan yang
terdiri dari level struktur yang sukses didalamnya. Dalam model ini, lapisan
lapisan mewakili berbagai macam level organisasi dalam managemen bencana. Model
ini menegaskan hubungan yang sistematis dan saling menguntungkan dari berbagai
level managemen bencana selama fase/siklus bencana dan mengilustrasikan
bagaimana kerja dari organisasi memenuhi kebutuhan struktur yang lebih luas.
Tidak seperti orientasi dahulu
dimana perencanaan, persiapan dan respon serta recovery bencana terjadi di
setiap level secara mandiri dan tidak terhubung, model ecological ini memberi
masukkan bahwa managemen bencna harus terjadi di setiap level organisasi yang
saling menguntungkan satu sama lain. Untuk alasan inilah, penting bahwa usaha
perencanaan gawat darurat terjadi dengan adanya pengenalan dan pemahaman dengan
level lain dari sistem ecologi ini, terutama dengan level keluarga dan
komunitas.
Model ecologi ini bersumsi
bahwa setiap rencana managemen bencana, persiapan, respon dan recovery terwujud
dalam bentuk sangakr yang semakin ketas semakin kompleks organisasi yang
terlibat dan konteks levelnya. Berdasar dari model ini, setiap lapisan dalam
model dan keefektifan dari managemen bencana bergantung kepada fungsi interaksi
antara bermacam level organisasi.
Model ekologi merupakan
system yang dinamis dimana segala tingkatan yang berperan saling berikatan dan
berhubungan. Model ekologi manajemen bencana menegaskan bahwa pelaksanaan majaemen bencana dalam tiap
fasenya merupakan siklus yang sistematik dan saling berkaitan antara berbagai
level organisasi sehingga hal ini sangat penting untuk dapat mengenali bahwa
masing-masing tingkatan mempunyai peran yang sama – sama penting.
Berdasarkan pada skema di atas, dapat dilihat bahwa tiap-tiap
komponen dalam manajemen bencana mulai dari fase planning, preparedness, response dan recovery mempunyai timgkatan yang sangat komplek. Dimana
masing-masing tingkatannya didalam level oraganisasi saling mempunyai interaksi
antara satu dengan lainnya dan mempunyai hubungan yang saling menguntungkan
Baca Juga: TINGKATAN TEORI KEPERAWATAN
Manajemen
Bencana Pada Tiap Fase Planning, Preparedness, Response dan Recovery berdasar
ecological system
Persiapan,
perencanaan, respon dan pemulihan dalam managemen bencana dalam sistem
ekologikal ini adalah proses yang harusnya terjadi didalam setiap level mulai
dari individu, keluarga, tempat kerja, komunitas, desa, pemerintah lokal,
negara dan international.
Model ekologi merupakan
system yang dinamis dimana segala tingkatan yang berperan saling berikatan dan
berhubungan. Model ekologi manajemen bencana menegaskan bahwa pelaksanaan majaemen bencana dalam tiap
fasenya merupakan siklus yang sistematik dan saling berkaitan antara berbagai
level organisasi sehingga hal ini sangat penting untuk dapat mengenali bahwa
masing-masing tingkatan mempunyai peran yang sama – sama penting
1. Fase
Pre Disaster
a.
Pre-event planning elements dan Preparedness
Elements
Menurut model ekologi, pada tahapan/fase preparedness, diperlukan kesiapan dan
perencanaan yang adekuat dengan melibatkan seluruh lapisan komponen masyarakat
yang terlibat sehingga akan terjadi saling interaksi dan komunikasi untuk
mengendalikan, mengontrol dan mengurangi dampak dari bahaya-bahaya bencana.
Berdasarkan hal tersebut, penyusunan rencana untuk penyiagaan seluruh unsur
terkait maupun instansi dalam menghadapi bencana harus dilakukan, mulai dari
penyamaan persepsi pada setiap unit kerja yang terlibat pada penyusunan SOP /
panduan dalam menghadapi bencana, melakukan pemetaan (mapping) untuk
potensi bencana yg mengancam, potensi SDM, data fasilitas & sumbernya serta
menyusun perencanaan dalam bentuk
dokumen tertulis dan protap-protap , program sosialisasi dan pelatihan (Strasser, 2008).
Sebagai bagian dari perencanaan, pengenalan
akan potensi bahaya menjadi penting untuk dikenali. Bahaya ini mungkin meliputi
bahaya alam, teknologi atau akibat manusia. Individu atau komunitas tertentu
mungkin lebih rentan terhadap bahaya tertentu dan ini menjadi bagian dalam
proses perencanaan (Landesman, 2001). Pendekatan akan bahaya dalam managemen
bencana adalah kerangka kerja dalam fase persiapan bencana. Perencanaan bencana
merupakan pendekatan terhadap berbagai potensi bencana yang memiliki keunikan
sendiri sehingga perencanaan bencana yang komprehensif diperlukan (American Res
Cross, 2004)
Elemen pentimg dalam fase preparedness
disini adalah mitigasi yaitu usaha-usaha yang dilakukan untuk mencegah,
mengurangi dan meminimalkan berbagai elemen yang berpotensi menimbulkan bahaya
(Federal
Emergency Managemen Agency, 2007).
Pengamanan logistik kebencanaan perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi
bahaya. Persiapan seperti hal komunikasi, jalur perintah dan kontrol yang
selama ini menjadi area dari pemerintah penting juga untuk dilaksanakan dalam
setiap lapisan di model ekologikal ini. Terakhir, pelatihan, simulasi bencana
adalah hal penting dalam elemen perencanaan. Pelajaran penting dapat diambil
dari latihan diatas adalah untuk mengethui akan adanya kekurangan dalam rencana
yang telah dibuat (Strasser, 2008).
Dalam hal sosialisasi siaga bencana, dibutuhkan
kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan
sampai ke masyarakat atau kawasan yang rawan bencana. Indonesia merupakan
negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk bangsa yang mampu merespons
bencana dengan benar. Kerugian yang ditimbulkan karena bencana alam dapat
dikurangi dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana yang dilakukan secara
komprehensif yang mencakup pendekatan yang bersifat pencegahan,
pengurangaan risiko, tindakan
kesiapsiagaan tanggap bencana, serta upaya pemulihan. Disamping itu, pendekatan
yang mengedepankan pentingnya partisipasi dari semua tingkat pemerintahan, baik
pemerintah pusat dan daerah, mengambil peran yang aktif dalam menciptakan
manajemen bencana yang efektif. Pengalaman menunjukkan bahwa kehancuran akibat
bencana dapat secara drastis dikurangi jika semua orang lebih siap menghadapi
bencana .Kesiapsiagaan merupakan hal yang penting dan harus dibangun pada
setiap tingkat kelompok di masyarakat. Dalam hal ini partisipasi publik dan
pemangku kepentingan (stakeholders) dalam penanganan bencana
(Noor I, 2009).
Menurut Sudiharto
(2011), peningkatan fungsi sistem deteksi dan peringatan dini merupakan salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk penanganan dan pengurangan bencana.
Penyusunan disaster plan di level
propinsi dan pembentukan infrastruktur yang bersifat fungsional harus
dilaksanakan. Disaster plan ini tidak
hanya terbatas pada emergency medik,
tapi mencakup pula sistem komunikasi dan telematika, logistik kesehatan,
pencegahan penyakit menular dan berbagai kegiatan spesifik lainnya. Selain itu,
infrastruktur yang minimal pada saat bencana dan pasca bencana, anggota tim
sebaiknya tidak terbatas pada sistem birokrat. Unit birokrasi disiapkan
terbatas pada situasi normal. Perlu adanya campur tangan antara tenaga
struktural di birokrasi kesehatan, fungsional dan pihak-pihak lain yang
kompeten dalam bencana.
2.
Fase Response
Sebagaimana UU No. 24
tahun 2007, Peraturan Kepala BadanPenanggulangan Bencana Nomor 04 tahun 2008
tentang Pedoman PenyusunanRencana Penanggulangan Bencana juga menyebutkan bahwa
penanggulanganbencana terdiri dari beberapa fase, yaitu fase pencegahan dan mitigasi,
fasekesiapsiagaan, fase tanggap darurat dan fase pemulihan Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana
Operasi, (Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari
Rencana Kedaruratan atau Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya. Saat bencana (tanggap darurat) adalah
serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian
bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
Meliputi kegiatan: (1) penyelamatan dan evakuasi korban maupun harta
benda, (2) pemenuhan kebutuhan dasar. (3)
perlindungan, (4) pengurusan pengungsi, dan (5) penyelamatan,
serta pemulihan prasarana dan sarana.
Sebuah fase respon/tanggap bencana yang efektif bergantung kepada
pengkajian setelah bencana, kewaspadaan situasi, komunikasi, kolaborasi dan
koordinai serta elemen kontrol dan pemberi perintah. Elemen respon ini sekali
lagi terjadi pada setiap level dalam model ecological ini. Model Ekologikal
menyarankan bahwa fase tanggap darurat bencana terjadi/dilaksanakan secara
horizontal dan vertikal. Diantara struktur dalam satu lapisan atau dapat
menyeberang ke lapisan lain. Sebagai contoh bila ada kejadian bencana di sebuah
daerah, pemerintah lokal dapat menghubungi sistem bencana pusat (BNPB). Sistem
pusat kemudian akan mengaktifkan sumber-sumber daya yang ada di tingkat pusat. Lebih
lanjut model ini mangasumsikan bahwa fleksibilitas pada setiap level adalah
kunci utama dalam penanganan bencana.
Tantangan Logistik :
Tantangan logistik dapat menjadi kendala
utama dalam memberikan tanggap bencana yang cepat dan efektif (PBB, 2010). Tugas
kepala bidang logistik kesehatan yaitu menyiapkan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan
untuk penanggulangan bencana, melakukan
pencatatan dan pelaporan obat dan perbekalan kesehatan Melakukan koordinasi
dengan lintas program dan lintas sektor (Ristrini, 2012).
Model
penanganan bencana ekologi ini berpendapat bahwa elemen logistik dalam sebuah
bencana dapat berefek pada hasil penanganan bencana. Sebagai contoh pada level
tempat kerja, pertimbangan logistik termasuk akses atau kurangnya akses kepada
disaster kit, atau kotak P3K selama fase respon bencana pada tempat kerja akan berpengaruh pada penanganan
korban bencana di tempat tersebut.
Logistik
dalam pengertian manajemen bencana berarti segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, baik pangan, sandang, papan, dan
turunannya. Termasuk dalam kategori logistik ialah barang yang habis
dikonsumsi, misalnya sembako, obat-obatan, selimut, pakaian dan
perlengkapannya, air, tenda, jas hujan, dan sebagainya. Pada tahap pra, saat,
dan pasca bencana, ketersediaan logistik yang cukup merupakan syarat mutlak
karena berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup korban bencana. Untuk
itu, penting bagi kita untuk mengetahui sistem dan manajemen logistik bencana.
Dan sekali lagi model managemen bencana berbasis
ekologikal ini menyatakan bahwa tantangan logistik berupa ketersediaan logistik
terjadi di semua tingkatan mulai dari individu dan keluarga hingga pemerintah.
Fleksibilitas
Model
ini berasumsi lebih lanjut bahwa fleksibilitas dalam semua level adalah
elemen kunci untuk usaha dalam fase
respon dan recovery. Karena kompleksnya dan karakter yang unik dari tiap
bencana, fleksibilitas, kecerdikan dan imajinasi seringkali diperlukan (Strasser,
2008)..
Tantangan dalam logistik seringkali menghambat penanganan
bencana. Kleindorefe mengidentifikasi adanya 3 sumber utama yang dapat
mengganggu rantai penyediaan logistik. Yang pertama adalah masalah operasional
seperti kegagalan peralatan, dan kegagalan sistem kerja, yang kedua tidak
adanya sumber yang mampu memberikan bantuan, yang ketiga adanya gangguan
bencana yang menghancurkan persediaan logistik. Rencana darurat, pengetahuan
untuk mendapatkan sumber alternati atau sumber kedua diperlukan. Adanya rencana
darurat ini telah banyak dilakukan penelitian dan digarisbawahi bahwa nilai
rencana darurat ini penting untuk dibuat (Wharton, 2006).
Fleksibilitas atau kelenturan berarti kemampuan para
korban bencana dan sistem untuk dapat beradaptasi terhadap situasi yang tidak
diinginkan dan mampu bertahan menggunakan sumber daya yang ada dalam proses
kreativitas.
Element respons atau respon
elemen
Yang termasuk dalam elemen respon adalah kewaspadaan
terhadap situasi, koordinasi, kolaborasi, dan elemen kontrol dan perintah. Elemen respon ini terjadi pada setiap level
dalam sistem ekologi ini. Model ini
menyarankana bahwa elemen respon ini harusnya dapat terjadi pada setiap level
model ekologikl. Sebagai contoh pemerintah desa dan
pemerintah kota/kementrian dalam menangani bencana harus berkomunikasi secara
efektif untuk mengkoordinasi usaha penanganan bencana (Strasser,
2008).
Pada dasarnya semua unsur penyelenggara komunikasi
yang ada di Indonesia (milik pemerintah, milik swasta, milik perorangan, dll.)
dapat dikerahkan oleh suatu badan, lembaga atau instansi yang berwenang
mengkoordinasikan kegiatan penanggulangan dan penanganan terhadap kejadian
musibah/bencana/marabahaya (disaster), agar dapat tepat waktu dan tepat pola
tindaknya pada saat keadaan emergency tersebut. Dalam
suatu keadaan darurat (disaster) baik dalam skala kecil, menengah dan besar,
unsur komunikasi dan organisasi adalah salah-satu komponen (sub-system) yang
berperan menentukan terhadap; berhasil atau kurang berhasil, bahkan gagalnya
suatu operasi penyelamatan (search and rescue) dan pengerahan bantuan
penanganan serta penanggulangan terhadap kejadian musibah/bencana (Team Orari jakarta, 2002)..
3.
Recovery dan
Evaluasi
Tidak
ada batas yang tegas untuk membedakan di mana kegiatan pada fase respon berakhir dan
beralih menjadi fase recovery, kemudian
ke pembangunan berkelanjutan jangka panjang. Kemajuan di beberapa daerah lebih
cepat dari pada daerah yang lain . Rehabilitasi fisik dan rekonstruksi kadang dapat
terjadi lebih cepat dari pada rehabilitasi sosial atau psikologis. Keduanya
diperlukan untuk pemulihan penuh. Tahap recovery ini
juga merupakan kesempatan untuk meningkatkan pencegahan dan meningkatkan
kesiapsiagaan , sehingga mengurangi potensi konsekuensi kejadian bencana yang
lain (WHO,
2013).
Tahap
recovery merupakan proses pemulihan kondisi masyarakat yang terkena bencana
dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Ada
beberapa perbedaan pendapat mengenai tahap pemulihan ini, sebagian mengatakan
bahwa tahap pemulihan (recovery) terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi baik
dari fisik, psikologis dan komunitas (PNPM, 2008).
Menurut UU No 24 Tahun 2007 mengenai penanggulangan
bencana menyatakan bahwa Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana. Sedangkan Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana
dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat
pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, social dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat
pada wilayah pascabencana.
Lain halnya
dengan Bank Dunia dan ISDR
mendefinisikan bahwa pemulihan (recovery) dan rekontruksi merupakan paket yang sama untuk memulihkan dan memperbaiki kondisi kehidupan seperti pra-bencana (TRIAMS, 2009). Tujuan dari recovery yaitu untuk membangun
kembali kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang terkena dampak dan
membangun kembali kawasan yang rusak . Ketika situasi bencana telah dikendalikan ,
populasi yang tidak terkena dampak berpartisipasi dalam kegiatan untuk
memulihkan kehidupan masyarakat dan membangun kembali infrastruktur seperti kesehatan lingkungan
untuk
tempat tinggal, air bersih, dan fasilitas sanitasi
Model
ekologi dirancang utnuk dapat saling terrhubung dari tingkat terkecil sampai
tingkat terbesar, yaitu tingkat individu/keluarga, tingkat tempat kerja,
tingkat komunitas, suku, pemerintah pusat, nasional dan internasional Dalam model ini dikatakan
bahwa, usaha pemulihan (recovery) bencana dipengaruhi oleh keberlanjutan dan
elemen rehabilitasi. Di tingkat pemerintah pusat elemen keberlanjutan mungkin
termasuk kemampuan untuk menyediakan tempat penampungan bagi korban bencana
dalam setiap upaya pemulihan berkepanjangan . Ditingkat masyarakat,
rehabilitasi termasuk proyek pemulihan jangka panjang yang dirancang untuk
membangun kembali infrastruktur masyarakat atau pengembalian kegiatan usaha dan
kerja seperti sebelum bencana
(Beaton,2008).
Sustainbility
Usaha
recovery dalam bencana dihipotesa dipengaruhi oleh Ketahanan dan elemen
rehabilitasi. Dalam level negara,
ketahanan dapat berarti kemampuan negara dalam menyediakan tempat berlindung
untuk korban bencana selama fase respon bencana (Strasser,
2008).
Sustainbility atau berkelanjutan dalam bencana berarti
adanya pertolongan lebih lanjut bagi korban bencana setelah fase respon.
Dijelaskan diatas salah satunya adalah dengan menyediakan tempat berlindung
atau tempat penampungan untuk para korban bencana.
4. Continuitas
Salah saru aspek yang penting dari model ekologi ini
adalah adanya proses pembaharuan dalam sistem itu sendiri. Model ini
mengasumsikan bahwa evaluasi dari respon dan usaha recovery saat bencana
terjadi seharusnya dapat memberikan inormasi untuk perencanaan dan persiapan
kedepan.
Fase respon dan recovery saat dan setelah terjadi bencana
akan dipengaruhi oleh persiapan dan rencana kebencanaan yang telah ada. Setelah
terjadi bencan maka perlu untuk dievaluasi hal apa saja yang menjadi kekurangan
saat rencana dijalankan. Apakah ada rencana yang tidak berjalan? Apakah
kendalanya dan bagaimana cara mengatasinya. Hal-hal seperti ini merupakan
informasi berharga yang dapat menyempurnakan sistem atau managemen bencana yang
ada sehingga persiapan dan renaca selanjutnya akan dapat berjalan lebih baik.
Baca Juga : PEMBERIAN LAYANAN INFORMED CONSENT PADA SETTING INSTALASI GAWAT DARURAT : PERAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
Baca Juga : PEMBERIAN LAYANAN INFORMED CONSENT PADA SETTING INSTALASI GAWAT DARURAT : PERAN HUKUM DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
DAFTAR PUSTAKA
Beaton, R, Brideges, E, dkk. 2008. Ecological Model of Disaster Management.
AAOHN Journal : 56 (11), 471-478
Jasper E, Berg
K, Reid M, Gomella P, Weber D, Schaeffer A, Crawford A, Mealey
K, Berg D. 2013. Disaster preparedness: what training do our interns
receive during medical school?.The
Official Journal Of The American College Of Medical Quality [Am J Med Qual. Vol. 28 (5), pp. 407-13. ISSN: 1555-824X
Maldonado,
G, Marshak HH, Sinclair R, Montgomery S, Dyjack DT. 2012.
Building capacity for community disaster preparedness: a call for collaboration
between public environmental health and emergency preparedness and response
programs.Journal Of Environmental Health [J Environ Health]. Vol. 75 (2), pp. 24-9. ISSN:
0022-0892
Noor Indrastuti. 2009. Modul
Ajar Pengintegrasian Penguranagan Resiko Banjir. Jakarta : Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional
PNPM Mandiri (2008). Modul Khusus Fasilitator :
Penanganan Pengelolaan Bencana. Direktorat Jenderal Cipta Karya. Departemen
Pekerjaan Umum
Sudiharto. 2011. Manajemen Disaster. Badan Penegmbangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia dan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI
Sunarti
Euis (Ed). (2009). Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson Learned
2006-2007)
Trisnantoro, Laksono. 2007. Aspek Govermance Dalam Bencana. Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM
TRIAMS. (2009). Lessons learned in post-crisis recovery monitoring
; Tsunami Recovery Impact Assessment and Monitoring System. Bangkok
0 comments:
Post a Comment