Is Sengstaken Blakenmore Tube efective
for GI Bleeding?
Latar Belakang
Pendarahan Akut Gastrointestinal atau acute upper
gastrointestinal bleeding (UGIH) adalah salah satu kegawat-daruratan medis yang
sering terjadi dan kebanyakan kasusnya membutuhkan pengkajian medis yang
segera. Prioritas utama adalah untuk segera membawa pasien ke rumah sakit,
dengan maksud untuk memperbaiki dengan segera status sirkulasi akibat shok baru
kemudian menemukan sumber pendarahan yang terjadi. Penting untuk semua perawat
mengetahui waspada dengan tanda dan gejala yang dialami, mangement perawatan
acute upper GI bleeding, dan berbagai masalah yang terkait (Smith, 2004).
Insiden acute upper gastrointestinal bleeding (UGIH) mencapai 150 kejadian
dari 100.000 pendarahan dalam tubuh. Insiden ini paling sering terjadi pada masyarakat
dengan tingkat pendapatan yang rendah. Walaupun insidennya sekarang sudah mulai
menurun, angka kematian yang diakibatkannya tetap tinggi. Sebuah audit UGIH di
Inggris pada tahun 1995 menunjukkan bahwa pasien yang masuk rumah sakit dengan
pendarahan sebagai diagnosis utama angka kematiannya mencapai 11%. Sedangkan
mereka yang mengalami pendarahan gastrointestinal untuk kedua kalinya, tingkat
kematiannya mencapai 33%. Kematian terbanyak dari UGIH terjadi pada lansia yang
mana memang tidak memiliki status kesehatan yang optimal (Fellows, 2000).
Penyebab paling sering
dari UGIH adalah esophageal varices,
gastric ulcer dan deudenal ulcer.
Sedangkan penyebab lainnya dikarenakan esophageal
ulcer, malignant ulcers, hiatal herniae dan diverticula (Charmen et all dalam Faruquzzaman, 2010). Lebih
kurang 50% pasien dengan cirrhosis
akan berkembang menjadi esophageal varices dan satu dari tiga pasien tersebut
akan berlanjut ke pendarahan varices. Pendarahan Esophageal Varices adalah
kejadian mengancam nyawa dengan tingkat kematian masih diatas 20% dalam 6
minggu setelahnya dan oleh karena itu membutuhkan intervensi segera (Sharma,
2011). .
Managemen penanganan pendarahan
gastrointestinal bagian atas adalah dengan segera membawa pasien ke rumah
sakit. Setelah di rumah sakit, prioritas utama adalah dengan memberi bantuan
untuk status sirkulasi pasien dan kemudian identiikasi sumber pendarahan
(Smith, 2004). Sedangkan untuk pendarahan akut varices, Bosch et all (2007)
mengatakan bahwa rekomendasi saat ini untuk mengatasi pendarahan akut varices
adalah dengan mengkombinasikan stabilisasi hemodinamik, prophilaksis
antibiotik, agen farmakologik dan penatalaksanaan endoscopic. Terapi endoscopic
menggunakan ‘band ligation’ digabung
dengan obat vasoactive sangat efektif
untuk dilakukan. Tetapi-terapi dasar inipun masih dapat gagal untuk mengontrol
pendarahan berhubungan dengan pendarahan ulangan dini (dalam 5 hari awal) yang
terjadi pada 10-20% pasien. Hal serupa juga dikatakan oleh Pasqualle yang
mengatakan bahwa Terapi endoscopic dengan band ligation
serta terapi farmakolgis adalah tatalaksana penanganan utama untuk kasus
pendarahan akut varisceal. Sayangnya, pada beberapa kasus bahkan dengan
kombinasi dari tindakan diatas dapat gagal untuk menghentikan pendarahan
variceal. Dan dalam situasi ini, baloon tamponade Sengstaken Blakemore Tube (SBT) adalah
jembatan sementara untuk strategi lain yang definitif dapat digunakan. SGT
dapat menghentikan pendarahan dengan kompresi langsung dari varices melalui
balon gastric dan esophageal yang mengembang dan ini dapat sukses hingga 90%
kasus (Pasquale,
1992).
Sengstaken Blakemore Tube (SBT) yang
diperkenalkan pertama pada tahun 1950 adalah tube plastik multi-lumen dengan
dua balon yang dapat dikembangkan (Gastric dan Esophageal balon) (Sengaskten
dalam Maufa, 2012). SB tube ini memiliki empat lumen dengan dua balon tadi. Ini
menyediakan gastric aspiration untuk mengijinkan drainase dari cairan bawah
balon gastric. Alat ini juga menyediakan esophageal aspirasi, yang mana
didapatkan oleh tube kedua. Perawat memiliki peran penting dalam pemasukan dan
observasi dari selang ini (Christensen, 2004). Tapi
pada lain sisi, SBT memiliki komplikasi potensial yang mengancam naywa. Ketika
aspirasi dari sekret menjadi masalah utama, obstuksi jalan nafas akut dan
esophageal rupture walau sangat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang
fatal (Seet E, 2008). Hal inilah yang
memerlukan pemikiran ulang melalui penelitian ilmiah atau study literature
untuk kemudian mendapatkan informasi yang lebih mendalam.
Analisa
Literatur
Berbagai laporan
penelitian menyebutkan bahwa penggunaan Sengstaken-Blakemore tube merupakan cara yang efektif dan juga
menjadi prosedur utama di berbagai rumah sakit dalam menangani atau mengontrol
pendarahan varices pada saluran pencernaan atas untuk sementara sebelum ada
terapi definiti lain. Sarin SK dalam
tulisannya berjudul “Balloon tamponade in
the management of bleeding oesophageal varices” mengatakan walaupun adanya
teknik baru untuk mengatasi pendarahan varices, masih ada tempat untuk Balloon
Tamponade seperti Sengstaken-Blakemore. Kateter ini adalah alat yang efektif
dalam mengontrol pendarahan hingga 40-92% dari seluruh pasien (Sarin SK, 1984).
Hal ini juga dikatakan oleh Panes yang mengemukakan bahwa ST tube dapat
mencapai haemostatis hingga 80-90%
dari 10-15 persen kejadian pendarahan saluran cerna atas yang diatasi dengan SB-Tube
(Panes, 1988).
Untuk
menginvestigasi keefektivan dan keamanan dari Sengstaken-Blakemore (SB) tube
dibandingkan dengan Linton-Nachlas (LN) tubem sebuah randomized clinical trial
telah dilakukan diantara kedua alat ini. Tujuh puluh sembilan pasien yang
menderita pendarahan saluran cerna akibat esophagus varices dimasukkan dalam
penelitian ini. Hasilnya kedua alat ini menunjukkan keefektivan yang sangat
baik dalam mencapai hemostatis (86%), tapi ketika pendarahan berasal dari
esopaghus varices, SB-Tube mencapai permanen hemostatis lebih sering (52%)
dibandingkan LN Tube (30%). Toleransi yang lebih baik dan keefektian yang lebih
besar dicapai SB Tube ketika diaplikasikan tanpa ekternal traksi. Kegunaan dari
esophagus tamponade untuk pendarahan varices akan lebih tinggi jika digunakan
dalam waktu 6 jam setelah pendarahan (Teres J, 1978).
Lebih lanjut Pasquale
dalam tulisannya berjudul ‘Use of balloon tamponade
to control bleeding varices’ mengatakan kompresi balon dari SBT
adalah upaya yang sangat efektif hingga 90% kasus dapat tertangani. SB-Tube
adalah sebuah cara gawat-darurat sementara yang bertujuan untuk menghentikan
pendarahan dan mengijinkan terjadinya pergantian volume cairan, dan mencegah
lebih lanjut kehilangan darah untuk mengoptimalkan kondisi pasien sebelum
dilakukan managemen definitif yang lebih terencana. SB-Tube akan lebih efektif
pada pasien dengan gangguan fungsi hepar yang lebih ringan dan pada pasien yang
didahului dengan terapi endoskopy (Ramasethu, 2004). Hasil serupa juga
dipaparkan oleh Feinman & Haut (2014) yang mengatakan bahwa walaupun
intervensi SB-Tube walau hanya sementara ini telah membuktikan dapat
menghentikan pendarahan yang mengancam nyawa hingga 80% dari semua pasien
dengan pendarahan akut saluran cerna atas akibat esophageal varices. Lebih
lanjut Feinman mencatat SB-Tube digunakan sebagai jembatan utama yang cepat
untuk mengatasi pendarahan yang mengancam nyawa ini. Dan tidak hanya untuk
pendarahan saluran cerna, SB-Tube juga dapat digunakan untuk beberapa tujuan
lain. Pada Transplantasi liver, SB-Tube dapat digunakan untuk secara aman
mengkoreksi ‘graft torsion’, yang
mana dapat dengan mudah diamati dengan pemeriksaan Doppler (Steinburk, 2010).
Beberapa
hal yang kemudian menjadi argumen bahwa SB Tube ini kemudian menjadi tidak ‘viable’ untuk dipergunakan lagi adalah karena komplikasi yang
ditumbulkan cukup fatal. Resiko komplikasi yang ditimbulakan mengancam nyawa
seperti yang dilaporkan beberapa penelusuran berikut. Pasquale menyatakan
walaupun SB-Tube efektif, di lain sisi resiko kompilkasi yang dilaporkan
mencapai angka 15%. Aspirasi dari sekret adalah komplikasi utama dari alat ini.
Obstruksi jalan naas, nekrosis karena tekanan mukosa dan esophageal rupture walau jarang terjadi namun menjadi komplikasi
yang fatal (Pasquale, 1992).
Hal senada juga dikatakan oleh Vlavianos yang melaporkan SB-Tube diasosiakan
dengan 10-35% komplikasi yang terjadi, terlebih lagi ditangan mereka yang belum
berpengalaman. Lebih lanjut telah dikemukakan bahwa SB-Tube sebenarnya terbatas
pada mereka yang sudah berpengalaman (Vlavianos, 1989). Kemudian Chong
mengatakan bahwa SB-Tube seharusnya hanya digunakan sebagai jembatan sementara
untuk mengontrol pendarahan yang masif hingga terapi definitif dapat dilakukan
dalam 24 jam. Dan lebih lanjut seperti data sebelumnya Chong juga mengatakan
bahwa SB-Tube diasosiasikan dengan komplikasi fatal pada 6-20% kasus yang mana
komplikasi paling fatalnya adalah esophageal rupture (Chong, 2005).
Beberapa
insiden mengenai fatalnya komplikasi yang disebabkan oleh ST Tube dilaporkan
dalam beberapa case report seperti
dibawah ini.
Kasus
1 : Seorang perempuan berumur 71 tahun
didiagnosis mengalami cryptogenic
cirrhosis dibawa ke pelayanan gawat darurat dengan hematemesis dan hematochezia. Pengkajian fisik
mengungkapkan takipnea (22/min), hipotensi (80/55mmHg). Asites, hernia sclera
dan umbilical. Hasil lab menunjukkan Hb : 6,9mg/dl, Hematokrit 22,4%, WBC 10900/mm2,
PTT 22,3 s dan INR 2.11. Hasil esophagogastroduodenoscopy
(EGD) menunjukkan grade 3-4 esophageal varices dengan spot merah dan oozing.
Karena pendarahan yang terus memburuk dibawah penanganan vasopressor dan infus
salin, SBT dimasukkan secara cepat dengan kesulitan. Setelah dikonfirmasi
melalui auskultasi, gstric balon dikembangkan 300 ml, esophageal balon
dikembangkan 40mmHg. Radiografi dada kemudian mengungkapkan ternyata gastric
baloon berada di belakang bayangan jantung. Baloon kemudian dikempeskan dan
pasien mengalami pendarahan kembali. Karena akibat salah posisi balon tadi,
terjadi ulcer pada varices yang telah dilem dan adanya ‘deformed dilated esophagus wall’ sepanjang 30 cm. Pasien beberapa
hari kemudian mengalami demam dan
hipotensi dan meninggal di hari ke 11 di ruang ICU (Turkay, 2013).
Kasus
2 : Seorang pria berumur 44 tahun mengalami
infeksi hepatitis B. Masuk ke layanan emergency dengan hematemesis dan ‘tarry stool’. Pemeriksaan endoscopic
menunjukkan adanya 3 esophageal varices
dengan warna merah. Ligasi dilakukan pada lesi ini. Dua hari setelahnya
hematemesis kembali terjadi dan pasien mengalami syok hemoragik. SB-Tube
dimasukkan tanpa ada kesulitan. Epigastric auskultasi dilakukan dan gastric buble dikonfirmasi oleh staf medis.
Tapi kemudian “Subsequent
chest roentgenogram” dilakukan dan ternyata
menunjukkan ‘malposisi’ gastric baloon pada area paru bagian kiri bawah. CT
Scan menunjukkan bahwa tube telah menembus dinding esophagus. Karena keadaan
pasien yang tidak stabil, operasi perbaikan tidak dapat dilakukan. Pasien
kemudian meninggal karena syok hemoragik dua jam setelahnya (Wang et all,
2010).
Tapi kemudian
bukan berarti bahwa ST-Tube telah gagal dalam menangani pendarahan saluran
cerna atas atau tidak baik untuk digunakan lagi kedepannya. Komplikasi yang
terjadi diakibatkan adanya prosedur yang direkomendasikan dilakukan namun
dilewati dan adanya faktor lain yang berpengaruh. Hal ini diungkapkan dalam bagian
diskusi dalam masing-masing case report
diatas.
Pada kasus
pertama, SBT dimasukkan ke pasien dengan segera karena adanya pendarahan yang
parah. Karena kondisi pasien yang tidak stabil akibat pendarahan, balon
dikembangkan setelah konfirmasi selang menggunakan auskultasi. Sebagai tambahan,
pemasangan BT-Tube mengalami kesulitan dan pasien memiliki ‘high
Child-Pugh classification’ Semua faktor prespitasi ini membuat rupturenya dinding esophagus.
Diagnosis ini dikonirmasi oleh EGD dan managemen yang konserfatif karena kondisi
pasien yang buruk. Sayangnya pasien meninggal karena infeksi yang bersumber
kemungkinan besar dari mediastinitis (Turkay, 2013). Demikian pula pada kasus
ke-dua. Auskultasi epigastric dilakukan untuk mengkonfirmasi posisi dari selang
tersebut. Baru kemudian setelah balon dikembangkan dilakukan Subsequent chest roentgenogram yang
ternyata menunjukkan adanya malposisi dari gastric balon SB-Tube yang telah
menembus dinding esophagus (Wang et all, 2010). Kedua laporan kasus diatas dimana
terjadi kegagalan penggunaan SB-Tube dalam mengatasi pendarahan saluran cerna
atas dikarenakan hanya digunakannya
metode auskultasi untuk konfirmasi posisi selang SB-Tube. Hal inilah yang
kemudian menjadi resiko terjadinya salah posisi yang menimbulkan dampak
perforasi dinding saluran cerna atas dan kemudian dengan komplikasi lain
mengakibatkan kematian.
Strategi penggunaan SB-Tube
Masih ada kelayakan untuk
ST Tube tetap digunakan, walau dengan beberapa catatan. Strategi dibawah ini
menjadi rekomendasi berbagai penelitian untuk penggunaan ST Tube yang efektif
dan mengurangi resiko komplikasi yang mungkin akan terjadi. Kesalahan yang
paling sering terjadi yang membatasi efektifitas balon tamponade adalah
kegagalan pisisi dari gastric balon pada posisi gastroesophageal junction. Sebenarnya jarang dilakukan
untuk mengembangkan balon esophagus bila gastric balon sudah beraa dalam posisi
yang tepat (Vlavianos, 1989).
Oleh karena itu penggunaan metode
tambahan selain auskultasi diperlukan untuk mengkonfirmasi letak selang dengan
benar. Hal ini dinyatakan oleh Kelly (1997) bahwa setelah pemasangan SBT, auskultasi dan monitoring
tekanan balon sendiri tidak mencukupi. Sehingga dibutuhkan x-ray dada sebelum
dan sesudah gastric balon dikembangkan adalah sebuah tatalaksana untuk
mengkonfirmasi posisi yang benar dari selang dan mendeteksi adanya kesalahan
tempat dari selang di esophagus secepat mungkin. Dalam kasus posisi selang
tidak dapat terdeteksi dengan x-ray, gastric balon dapat iisi dengan cairan
radiocontrasr terlebih dahulu untuk membuktikan posisi dari selang tersebut. Hal
serupa juga dikatakan oleh Chong (2005) dalam laporan kasusnya. Diantara
komplikasi yang ada, esophagus rupture
karena kesalahan penempatan SB-Tube mengakibatkan tingkat kematian yang tinggi
dari adanya hemothorax atai septic
mediastinitis. Sehingga untuk mencegah hal ini, konfirmasi yang benar dari
penempatan selang dengan auskultasi saja tidak mencukupi. Radiography secara
rutin perlu dilakukan setelah pengembangan yang sedikit dari gastric balon
untuk mengkonfirmasi bahwa selang terpasang pada posisi yang benar sangat
direkomendasikan.
Strategi berikutnya yang dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi kebenaran letak selang adalah dengan menggunakan
USG. Seperti yang diungkapkan Guntam (1997) bahwa konfirmasi Radilogical
disrankan sebelum pengembangan penuh dari balon. Tetapi, pengembangan sebagian
dari gastric balon tidak selalu dapat dikonfirmasi dengan chest roentgenogram. Sementara itu keterlambatan dalam
mengembangkan balon untuk menekan pendarahan akan berakibat buruk pada kondisi
pasien yang bila mengalami keadaan hemodinamik tidak stabil maka dapat
menyebabkan konsekuensi yang fatal. Ultrasonography, yang mana lebih siap
digunakan pada ICU dapat digunakan untuk mengidentifikasi posisi selang.
Mengingat adanya kontras dari darah, jel dari echogenic pada lambung,
penggunaan ultrasonography untuk menentukan posisi dari SB-Tube tampak menjanjikan
(Guntram, 1997). Hal ini juga dikemukakan oleh Lin (2006). Menurutnya, lokasi
dari selang dapat dikonfirmasi dengan cepat dengan USG jika tersedia dan ada
dokter yang dapat menggunakannya. Sehingga, mediastinitis dan infeksi lain
karena adanya perorasi esophagus dapat dihindari.
Memang ada metode baru untuk
mengontrol pendarahan varices yang baru-baru ini dikemukakan menggunakan
self-expanding stent sebagai alternatif dari SB-Tube. Penatalaksanan ini telah
menunjukkan angka kematian yang rendah dari komplikasi yang terjadi. Tetapi,
penatalaksanaan ini terbatas kepada pendarahan varices yang berlokasi di
esophagus sehingga adanya gastric varices tidak dapat tertampung oleh alat ini.
Sehingga tatalaksana dengan B-Tube akan tetap dilakukan dalam management akut
dari pendarahan varices dan diprediksi kematian akibat komplikasinya akan terus
terjadi (Nielsen, 2012).
Kesimpulan :
Kasus diatas
mendemonstrasikan betapa fatalnya komplikasi dari SB-Tube walaupun alat ini
sangat efektif dalam mengontrol pendarahan akut akibat varices esophagus
sebagai jembatan atau terapi sementara
sementara masih direncakan terapi yang lebih definitif. Hasil pembahasan
menunjukkan pentingnya radiography dalam mencek posisi selang sebelum dan
setelah pengembangan penuh dari balon gastric untuk mengkonfirmasi kebenaran
dari posisi selang dan mendeteksi pemindahan lokasi selang secepat mungkin.
Seperti yang dikatakan Nielsen (2012), kasus kami mengilustrasikan
bahwa penempatan yang benar dari SB Tube sebelum pengembangan balon memegang
peranan penting untuk mencegah adanya ruptur esophagus. Pemasukan dengan
penempatan yang benar dari selang walaupun merupkan prosedur yang sulit harus
tetap dilakukan dengan baik untuk mencegah ruptur esophagus yang dapat
mengakibatkan kematian (Nielsen, 2012).
Oleh
karena itulah, observasi yang terus berulang dengan x-ray harus dilakukan. Pada
keadaan yang darurat dan x-ray tidak bisa secara jelas mengungkapkan posisi
selang, maka penggunaan ultrasonography dapat memberikan solusi yang
menjanjikan.
Baca Juga: PENATALAKSANAAN DIAGNOSTIK PERITONEAL LAVAGE PADA PASIEN TRAUMA ABDOMEN : DIGANTIKAN USG?
DAFTAR PUSTAKA
Abraldes, J., and Bosch, J. (2007). The treatment of
acute variceal bleeding. Journal of Clinical Gastroenterology 41(10 Suppl 3):
S312-S317.
Charmel
et all, dalam Faruquzzaman, 2010). Signiicant
association o acute gastrointestinal haemorrage. Chitagong Medical College
Hospital : Bangladesh
Chong
CF. Esophageal rupture due to Sengstaken-Blakemore tube misplacement. World J
Gastroenterol 2005;11:6563-5.
Christensen, T. (2004) The treatment of oesophageal varices
using a Sengstaken-Blackmore tube: considerations for nursing practice. Nursing
in Critical Care; 2: 58–64.
Feinman &haut, 2014.
Upper Gastrointestinal BleedingCare Medicine (ACCM), Emergency Medicine, The Johns
Hopkins University School of Medicine, Sheikh Zayed Tower, 1800 Orleans Street_ 2014 ElsevieR
F.
Maufa, 2012. Role of Self-ExpandableMetal
Stents in Acute Variceal Bleeding. mDivision of Gastroenterology,
Department of Medicine, MedStar Georgetown University Hospital, Georgetown
University, 3800 Reservoir Road, NW, Washington, DC 20007, USA
Guntram
L, Michael R, Helmut M, Stefan G, Jurgen S, Axel H. Inflation and positioning of the gastric balloon of
a sengstaken-blakemore tube
under ultrasonograpic control. Gastrointest Endosc 1997;45:538
HJ
Fellows1 and HR Dalton2,3
1Intensive Care Unit, Royal Devon and Exeter Hospital, Exeter, UK;
2Cornwall Gastrointestinal
Unit Royal Cornwall Hospital and 3Peninsula College of Medicine and Dentistry, Truro,
UK
J.
Panes, J. Teres, J. Bosch, J. Rodes, Efficacy of balloon tamponade in treatment
of bleeding
gastric and esophageal varices. Results in 151 consecutive episodes, Dig. Dis. Sci. 33 (April
(4)) (1988) 454–459.
Kelly
DJ, Walsh F, Ahmed S, et al. Airway obstruction due to a Sengstaken Blakemore
tube. Anesth Analg 1997;85:219-21.
Lin
AC, Hsu YH, Wang TL, et al. Placement confirmation of Sengstaken-Blakemore tube
by ultrasound. Emerg Med J 2006;23:487
Nielsen,
Trine Skov, 01.
Lethal esophageal rupture following treatment with Sengstaken–Blakemore Tube in
management of variceal bleeding: A 10-year autopsy study. Department of
Forensic Medicine, Faculty of Health Sciences, Aarhus University,
Brendstrupgaardsvej 100, 8200 Aarhus N, Denmark
Pasquale
MD, Cerra FB. Sengstaken-Blakemore tupe placement. Use of balloon tamponade to
control bleeding varices. Crit Care Clin 1992;8:743-53.
P.
Vlavianos, A. E. S. Gimson, D. Westaby, and R. Williams, “Balloon tamponade in variceal
bleeding: use and misuse,”
British Medical Journal, vol. 298, no. 6681, article 1158, 1989.
Sarin SK, Nundy S. Balloon tamponade in the management of
bleeding oesophageal varices. Ann R Coll Surg Engl
1984;66:30-2.
Smith, G.D, 2010.. The management of
upper gastrointestinal bleeding. Nursing Times; 100: 26, 40-43.
Sharma
P, Sarin SK. Improved survival with the patients with variceal bleed. Int J
Hepatol Int J Hepatol 2011;2011:356919.
Seet
E, Beevee S, Cheng A, et al. The Sengstaken-Blakemore tube: uses and abuses.
Singapore Med J 2008;49:195.
Steinburck,
2010. Ectopic Placement of Sengstaken-Blakemore Device to
Correct Outflow Obstruction in Liver
Transplantation: Case Reports. Published by Elsevier Inc. 360 Park Avenue South, New York,
Turkay.
2013. Esophageal
Perforation: A Rare but Fatal Complication of Urgent Sengstaken Blakemore Tube
Intubation. Department of Internal Medicine, Intensive Care Department, Faculty
of Medicine, Marmara University, İstanbul, Turkey. Elseveir
Wang, Mao Heng et all, 2010. Malposition of a Sengstaken-Blakemore Tube: A Case Report. Department of Internal Medicine, Tao-Yuan Hospital,
Department of Health, Executive Yuan, Taiwan : J Emerg Crit Care Med. Vol. 228
21, No. 4, 2010
1 comments:
Casino Bonus Codes - DRMCD
Find 남양주 출장마사지 the best Casino 강원도 출장안마 Bonus 영주 출장마사지 Codes for December, 2021. Read the latest Casino Bonuses, Codes 보령 출장마사지 & Free Spins for US 성남 출장샵 Players. Check these casinos now for
Post a Comment