A. Bencana
- Definisi
Bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Peraturan pemerintah no.21
th.2008).
Bencana adalah
segala kejadian yang menyebabkan kerugian, baik ekonomi, kerugian jiwa
manuasia dan kerugian pelayanan kesehatan/jasa kesehatan dengan skala yang
cukup besar sehingga memerlukan penanganan diluar penanganan normal yang memerlukan
bantuan daerah Luar dari daerah dampak
bencana.(WHO, 2008).
Definisi
bencana seperti dipaparkan diatas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
a.
Terjadinya
peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard).
b.
Peristiwa
atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari
masyarakat.
c.
Ancaman
tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk
mengatasi dengan sumber daya mereka.
- Faktor-faktor
penyebab bencana
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh
ulah manusia (man-made dis aster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana
antaralain :
a.
Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena
ulah manusia (man-madehazards) yang menurut United Nations
International Strategy for DisasterReduction (UN-ISDR) dapat
dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geologicalhazards), bahaya
hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi(biological
hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunankualitas
lingkungan (environmental degradation).
b.
Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari
masyarakat, infrastruktur sertaelemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang
berisiko bencana.
c.
Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam
masyarakat.
Bencana terdiri dari berbagai
bentuk. UU No. 24 tahun 2007 mengelompokan bencana ke dalam tiga kategori
yaitu:
a.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
b.
Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
c.
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antarkelompok
atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Ethiopian
Disaster Preparedness and Prevention Commission (DPPC) mengelompokkan bencana berdasarkan jenis hazard, yang terdiri dari:
a.
Natural hazard. Ini adalah hazard karena proses alam yang manusia tidak atau sedikit memiliki
kendali. Manusia dapat meminimalisir dampak hazard dengan mengembangkan
kebijakan yang sesuai, seperti tata ruang dan wilayah, prasyarat bangunan, dan
sebagainya. Natural hazard terdiri
dari beragam bentuk seperti dapat dilihat pada tabel berikut:
b.
Human made hazard. Ini adalah hazard sebagai akibat aktivitas manusia yang mengakibatkan
kerusakan dan kerugian fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Hazard ini mencakup:
1)
Technological hazard sebagai akibat kecelakaan
industrial, prosedur yang berbahaya, dan kegagalan infrastruktur. Bentuk dari hazard ini adalah polusi air dan udara,
paparan radioaktif, ledakan, dan sebagainya.
2)
Environmental degradation yang terjadi karena tindakan dan
aktivitas manusia sehingga merusak sumber daya lingkungan dan keragaman hayati
dan berakibat lebih jauh terganggunya ekosistem.
3)
Conflict adalah hazard karena perilaku kelompok manusia pada kelompok yang lain
sehingga menimbulkan kekerasan dan kerusakan pada komunitas yang lebih luas.
- Ancaman
Bencana di Indonesia
Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Data
bencanadari BAKORNAS PB menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi
1.429kejadian bencana, di mana bencana hidrometeorologi merupakan bencana yang
palingsering terjadi yaitu 53,3 persen dari total kejadian bencana di
Indonesia. Dari totalbencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi
adalah banjir (34,1 persen daritotal kejadian bencana di Indonesia) diikuti
oleh tanah longsor (16 persen). Meskipunfrekuensi kejadian bencana geologi
(gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi)hanya 6,4 persen, bencana ini
telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yangbesar, terutama akibat gempa
bumi yang diikuti tsunami di Provinsi NAD dan Sumuttanggal 26 Desember 2004 dan
gempa bumi besar yang melanda Pulau Nias, Sumut pada tanggal 28 Maret 2005.
- Dampak Bencana
Bencana
mengakibatkan kerusakan di berbagai bidang.Menurut peraturan pemerintah no.21
th.2008 bencana dapat mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis.
Dampak
psikologis bencana secara umum pada masyarakat adalah kehilangan (loss),
separation, stress, dan trauma yang mempengaruhi cara coping dan behavioral
outcome. Ada kaitan yg sangat erat antara kejadian/event sosial dengan keadaan
psikologis seseorang/kelompok dalam lingkup bencana, dimana bencana tidak saja
berdampak pada 1 orang tapi juga seluruh komunitas (Viemilawati, 2009)
B. Stress
Pasca Trauma
1. Definisi
Stress
Stress adalah
respon non-spesifik terhadap sesuatu yang menyenangkan atau berbahaya . Stress dapat timbul jika
keinginan tidak terpenuhi. Lazarus (1976) mengungkapkan stres bisa terjadi pada
individu terdapat tuntutan yang melampaui sumber daya yang dimiliki oleh
individu untuk menyesuaikan diri. Hal ini berarti kondisi stres terjadi bila
terdapat ketidakseimbangan atau kesenjangan antara tuntutan dan kemampuan.
Sumber sress dapat berupa sesuatu yang kecil seperti yang biasa dialami atau
dapat juga sesuatu yang besar seperti perceraian, pengalaman bencana dll.
Lazarus (1976) mengunkapkan stress tidak hanya tergantung pada kondisi
eksternal tapi juga tergantung pada kerawanan konstitusional dari iindividu
yang bersangkutan dan pada mekanisme pengolahan kognitif terhadap kondisi yang
dihadapi .
Stress akibat
bencana tidak hanya dialami oleh individu yang mengalami bencana secara
langsung , melainkan juga mereka yang berada di luar daerah bencana, khususnya
mereka yang punya keluarga.
2. Respons
reaksi psikologis
Gejala
adanya stress pasca trauma bisa terjadi bila seseorang :
a.
Mengalami
kembali
1)
Saat-saat
ketika seseoranng tampak memainkan kembali peristiwa itu dalam benaknya
2)
Gangguan-gangguan
memori berulang atas peristiwa
b.
Mimpi
buruk
c.
Pembangkitan
1)
Perilaku
tidak terarah dan tidak tenang
2)
Marah
atau berang
3)
Gugup
terhadap siapapun dan apapun yang berada di sekitarnya
4)
Kaget
dan cemas berlebihan bila mendengar suara yang keras
d.
Penghindaran
1)
Menghindari
pemikiran, perasaan atau tempat-tempat yang mengingatkan atas sebuah peristiwa
2)
kaku
e.
Perilaku-perilaku
lain : Sulit tidur, konsentrasi, menjauh, penarikan sosial.
3. Koping
stress
Dalam
menghadapi stress tentu dibutuhkan koping, strategi, atau cara yang digunakan
untuk berdamai dengan stresor (dalam Auerbach & Gramling, 1998). Koping
harus segera dilakukan agar stress yang dialami tidak berkepanjangan tanpa
penyelesaian. Folkman (dalam Resick, 2001) mengartikan koping sebagai perubahan
pemikiran dan perilaku yang digunkaan oleh seseorang dalam menghadapi tekanan
dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan
lingkungannya yang dinilai sebagai stresor. Koping ini nantinya akan terdiri
dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan stresor.
Sheridan dan
Radmacher (1992) telah mengklarifikasikan koping ke dalam dua jenis yaitu problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused
coping adalah suatu penanganan stres dengan cara mengurangi atau memecahkan
masalah yang menjadi sumber stres. Moos dan Billings (dalam Goldberger &
Brezwitz, 1982) memberikan contoh problem-focused
coping yaitu mencari info atau saran , berbicara dengan pasangan atau
kerabat lainnya mengenai permasalahan yang dihadapi, atau dapat berupa
permintaan jenis pertolongan yang spesifik seperti meminjam uang. Sedangkan emotion-focused coping adalah penanganan
stres dengan mengendalikan respon emosi yang diakibatkan oleh stresor. Sebagai
contoh adalah menunda untuk memikirkan masalah atau mencoba untuk tidak
disulitkan dengan permasalahan.
Emotion-focused
coping mencoba menghilangkan perasaan yang tidak nyaman yang diakibatkan oleh
stressor, bisa dengan cara melihat sisi positif dari satu hal, mencari hikmah
dibalik kejadian atau bahkan tak jarang digunakan pengingkaran untuk
menenangkan hati. Penghindaran dan pengingkaran adalah cara yang umum digunakan
dalam emotion-focused coping. Penghindaran mengacu pada pemindahan diri dari
situasi yang menekan sedangkan pengingkaran meliputi melarikan diri dari
stressor atau dapat juga penyangkalan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.
Cara individu
untuk menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya
individu yang meliputi kesehatan fisik / energi, keyakinan, keterampilan
memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan materi. Keyakinan
menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting seperti keyakinan akan nasib
yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan yang akan menurunkan
kemampuan strategi koping individu.
4. Reaksi
Psikologis Trauma setelah Benca Alam
Gangguan
psikologi dianggap masalah utama yang
merupakan dampak peristiwa
ekstrim seperti bencana sebagai kondisi yang
abnormal yang mengakibatkan
respon abnormal terhadap terjadinya bencana. Tanggapan
manusia terhadap bencana alam berhubungan dengan cara orang
berpikir, berperilaku dan
berinteraksi dalam lingkungan (Guttman, 2000). Bencana
yang tak terduga, terjadi tiba-tiba, dan kerusakan yang luas dipahami sebagai traumatis dan terkait dengan
resiko tinggi gangguan
psychological (Bolin, 1989; Thoits, 1983).
Yang paling sering terjadi adalah
kondisi kehidupan yang terganggu yang
memerlukan periode panjang
dalam pemulihan (Yates, 1992). Ada
sedikit pertanyaan mengenai dampak
potensial traumatis peristiwa bencana. Beberapa
studi menunjukkan bahwa gejala stres
pasca trauma dan tingkat PTSD meningkat pada kejadian bencana (Staab et al., 1999). Misalnya, orang
yang menderita trauma akan mengakibatkan
kerugian
finansial yang signifikan dalam bencana
alam cenderung memiliki lebih
banyak gejala
Tergantung pada beratnya dampak bencana , tingkat PTSD telah ditemukan bervariasi
dari sekitar 5 persen menjadi 22
persen (Green & Lindy,
1994) .Dalam beberapa
tahun terakhir, meningkat kesadaran
akan dampak psikologis peristiwa
bencana, post trauma intervention
telah menerima cukup perhatian. Model yang paling banyak digunakan intervensi ofpsychological adalah Mitchell
Kritis Insiden Tekanan
Debriefing (CSID) (Mitchell, 1983; Mitchell
& Everly, 1996).
Brifing digunakan sebagai intervensi pencegahan,
dan memberikan asumsi bahwa
memberikan dukungan dengan kesempatan untuk
berbagi pengalaman mereka dalam
lingkungan dan mendukung akan
mengurangi perasaan kelainan, menormalkan perasaan distress dan perilaku, dan mengurangi morbiditas kronis dengan memfasilitasi coping responses lebih adaptif (Raphael & Wilson,
2000). Hal ini tidak berarti bahwa bencana tidak memiliki dampak
psikososial yang signifikan. Hampir selalu menghasilkan aditif dan stressor interaktif yang dapat berkontribusi untuk gejala bahaya gangguan psychological yang muncul dalam beberapa minggu atau bulan setelah
bencana. Namun, penting di sini
untuk mengenal bahwa tekanan psikologis lebih sering mencerminkan kesulitan dan
sulitnya selama pemulihan dan
pembangunan kembali, daripada karakteristik dampak bencana.
"Berurusan dengan badan-badan bantuan (terutama instansi pemerintah), kehilangan pekerjaan, status kehilangan di lingkungan, atau campuran sosiokultural berubah di masyarakat adalah semua pengalaman yang mungkin dapat terjadi setelah bencana dan benar-benar mungkin lebih signifikan, dari waktu ke waktu, dari paparan agen bencana sendiri "(Flynn, 1999: 111). Penelitian telah menunjukkan bahwa ketegangan yang terkait dengan memulihkan perumahan dan pola hidup berdampak pada kesejahteraan psikologis akut dan berpotensi menimbulkan peristiwa trauma penelitian Parker dari Darwin siklon menunjukkan tingkat awal disfungsi antara korban terkait dengan 'stres kematian' takut terjadinya trauma atau kematian), ketidakmampuan menyesuaikan diri setelah 10 minggu dikaitkan dengan kehilangan seperti stres karena ditinggal dan harta benda yang hilang dan gangguan dukungan komunitas atau dukungan keluarga. Demikian pula, Lima et al. (1997) menemukan bahwa tingkat distress tujuh bulan setelah Armero gunung berapi in Colombia 1985 terkait kurang berdampak terjadinya kekhawatiran karena beberapa karakteristik berkaitan dengan hilang harta, terganggu pekerjaan, ketidakpuasan dengan kondisi hidup, dan perasaan tidak mempunyai apa-apa secara memadai disediakan atau difasilitasi oleh pemerintah sehingga tidak berdambak terjadinya stress pasca bencana.
"Berurusan dengan badan-badan bantuan (terutama instansi pemerintah), kehilangan pekerjaan, status kehilangan di lingkungan, atau campuran sosiokultural berubah di masyarakat adalah semua pengalaman yang mungkin dapat terjadi setelah bencana dan benar-benar mungkin lebih signifikan, dari waktu ke waktu, dari paparan agen bencana sendiri "(Flynn, 1999: 111). Penelitian telah menunjukkan bahwa ketegangan yang terkait dengan memulihkan perumahan dan pola hidup berdampak pada kesejahteraan psikologis akut dan berpotensi menimbulkan peristiwa trauma penelitian Parker dari Darwin siklon menunjukkan tingkat awal disfungsi antara korban terkait dengan 'stres kematian' takut terjadinya trauma atau kematian), ketidakmampuan menyesuaikan diri setelah 10 minggu dikaitkan dengan kehilangan seperti stres karena ditinggal dan harta benda yang hilang dan gangguan dukungan komunitas atau dukungan keluarga. Demikian pula, Lima et al. (1997) menemukan bahwa tingkat distress tujuh bulan setelah Armero gunung berapi in Colombia 1985 terkait kurang berdampak terjadinya kekhawatiran karena beberapa karakteristik berkaitan dengan hilang harta, terganggu pekerjaan, ketidakpuasan dengan kondisi hidup, dan perasaan tidak mempunyai apa-apa secara memadai disediakan atau difasilitasi oleh pemerintah sehingga tidak berdambak terjadinya stress pasca bencana.
5. Populasi
Rentan Terkena
Di
antara yang paling
rentan terhadap dampak terjadinya
bencana alam adalah kelompok dengan ekonomi
rendah dan daerah pinggiran . Pengalaman
AS, daerah yang miskin
secara ekonomi atau daerah yang kurang
prioritas untuk
bencana cenderung kehilangan lebih banyak selama proses pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana (Dash et al, 1997;. Phillips , 1993).
Rumah tangga dengan berpenghasilan rendah umumnya resiko tinggi terjadinya kehilangan yang lebih besar .
Dalam hal bencana, rumah tangga ini tidak hanya menimbulkan kerugian secara
proporsional lebih tinggi, termasuk
kerusakan perumahan, tetapi lambatnya proses pemulihan atau
lambatnya dalam proses memperbaiki rumah (Bolin, 1993). Hal ini cenderung terjadi karena pendapatan yang lebih rendah, tabungan
lebih sedikit, pengangguran yang lebih besar, dan kurang asuransi. Tidak seperti rumah tangga kelas atas dan menengah ke atas atas yang dapat keuntungan relokasi atau biaya konstruksi
rumah, individu dengan pendapatan rendah mengalami waktu
yang lebih lama untuk pemulihan rumah (Comerio,
1998). Pengamatan serupa telah dibuat untuk kelompok rentan lainnya. Sebagai contoh, orang tua
memiliki proporsional lebih banyak kehilangan dari orang yang lebih muda, tetapi mungkin memiliki
sumber daya sosial dan economi lebih
sedikit dan lebih enggan untuk
meminta bantuan formal (Butcher & Dunn, 1989). Perempuan juga mengalami tingkat
yang lebih tinggi dari bahaya,
tapi ini dikaitkan dengan pendidikan
rendah, sumber daya pendapatan yang
terbatas, dan masalah kesehatan yang
sudah ada (Shore et al. 1996). Brown
dan Harris (1993:
73) berpendapat bahwa perempuan kelas pekerja menjadi sangat rentan terhadap tekanan psikologis setelah krisis. Hal ini berhubungan dengan kualitas
emotional relationships mereka, jumlah anak-anak di
rumah dan apakah wanita itu
mempunyai pekerjaan luar rumah.
6.
Mengenali tanda dan Gejala
Trauma setelah bencana :
Pengalaman yang mengungsi
dan kehilangan cara hidup untuk bencana dapat traumatis bagi mereka yang juga
harus berurusan dengan hilangnya keluarga dan teman-teman. Tingkat kerusakan
dapat menangkap orang-orang tidak siap dan meninggalkan mereka pada kerugian
tentang bagaimana untuk menangani dengan itu. Tanda-tanda dan gejala trauma
dapat terus lama setelah bencana berakhir, ketika korban telah dimukimkan
kembali ke tempat yang lebih aman. Secara garis besar, ada tiga tanda-tanda
umum yang sering terlihat pada orang yang menderita trauma:
a.
Mengalami ulang peristiwa
traumatik.
Korban trauma sering mengalami kesulitan berkonsentrasi, karena mereka
terganggu oleh pikiran berulang atau gambar dari peristiwa traumatik. Mereka
mungkin merasa dan bertindak gelisah atau tertekan bila terkena sesuatu yang
mengingatkan mereka tentang tragedi itu. Kadang-kadang, mereka berbicara
tentang peristiwa masa lalu seolah-olah itu masih terjadi di masa sekarang,
seolah-olah mereka melihatnya dari dekat dan tepat di depan mata mereka. Pada
anak-anak, reexperiencing mungkin datang dalam bentuk mimpi buruk persisten
yang tidak dapat dijelaskan dan hari mengompol setelah acara telah terjadi,
atau terus-menerus, keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan (seperti sakit
perut, pusing, dan sakit kepala yang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab
fisik).
b.
Menghindari kenangan
trauma di biaya apapun. Korban trauma sering mencoba untuk menutup bahkan pengingat
paling terpencil insiden traumatis. Mereka mungkin menghindari pergi ke
tempat-tempat atau melakukan kegiatan yang membawa kembali perasaan tertekan
tentang acara tersebut. Mereka mungkin berusaha keras untuk menghindari
berbicara tentang insiden itu, atau bahkan berpikir tentang hal itu. Banyak
menjadi ditarik secara sosial. Secara fisik, mereka mungkin mulai merasa mati
rasa atas sebagian atau seluruh tubuh mereka setiap kali kenangan dari peristiwa
traumatis muncul kembali. Beberapa bahkan mungkin tidak mampu mengingat apa
yang terjadi, atau mereka mungkin lupa bahwa mereka pergi melalui pengalaman
sama sekali.
c.
Menjadi menerus cemas dan
/ atau mudah gelisah. Kondisi ini, juga dikenal sebagai hyper-arousal, menghasilkan
orang yang mudah terkejut dan sering merespon dengan cara yang berlebihan
(misalnya, tiba-tiba melarikan diri saat mendengar sesuatu yang mengingatkan
mereka tentang trauma). Setelah peristiwa traumatik, orang mungkin tidak bisa tidur
atau tetap tertidur. Mereka mungkin lebih mudah marah dibandingkan perubahan
suasana hati biasa dan tampilan atau misbehaviors yang tidak khas. Anak-anak
mungkin melekat pada orang tua mereka, menolak untuk pergi ke sekolah, dan
menampilkan kekhawatiran terus-menerus berhubungan dengan bencana, seperti
takut kehilangan orang tua mereka.
7. Assesment
Aspek kesehatan mental perlu
dipertimbangkan dalam langkah-langkah penanganan pasca bencana. Untuk itu
diperlukan informasi yang akurat tentang kondisi kesehatan mental masyarakat
yang terkena bencana beserta faktor yang mempengaruhi gangguan psikologis pada
masyarakat pasca bencana. Sehingga diperlukan :
a.
Rapid Assesment
1)
Menentukan besarnya populasi yang memerlukan bantuan psikologis
2)
Sebaran populasi yang memerlukan bantuan psikologis
3)
Jenis dan tingkat permasalahan psikologis
4)
Mengumpulkan informasi tentang kerusakan fisik di lingkungan
5)
Mengumpulkan informasi tentang hunian sementara dan serta
bagaimana kondisinya, bagaimana tingkat kenyamanannya
6)
Mengumpulkan informasi tentang representasi mental korban yang
dialaminya
b.
Menentukan intervensi berdasarkan data yang didapat untuk
menangani atau menurunkan bahkan mencegah terjadinya gangguan psikologis pada
korban bencana
c.
Melaksanakan intervensi yang sudah disusun terutama memperhatikan
kebutuhan dasar korban bencana, mulai dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, aman
nyaman, merasa dicintai, harga diri dan aktualisasi diri
a. Initial
assessment
Langkah pertama untuk pengkajian pasien dengan masalah
kesehatan mental adalah memfokuskan untuk mengidentifikasi dengan memerlukan
immediate care pada pelayanan emergensi yang meliputi pengkajian :
1) Kesehatan
mental di prehospital
2) Ide
bunuh diri, adanya perilaku yang mengisyaratkan bunuh diri
3) Adanya
ide pembunuhan
4) Berkurangnya
perilaku dalam melakukan perawatan diri
5) Melukai
diri sendiri
6) Penurunan
kemampuan dalam mengontrol perilaku kekerasan
7) Adanya
keganjilan pada perilaku
8) Penggunaan
obat dan alcohol dengan gejala psikiatri
b. Secondary
assessment
1) Penampilan
dan gerakan tubuh secara umum
Apakah penampilan pasien berikut ini?
(a) Berantakan,
tidak bersih
(b) Slumpedt,
tegang, kaku
(c) provokatif,
mengancam
(d) tidak
tepat dalam berpakaian (misalnya, celana pendek di musim dingin)
2) Kemampuan
untuk berpartisipasi dalam sebuah wawancara
Menilai pasien sebagai berikut:
(a) Tingkat kesadaran
(b) Orientasi ke orang, tempat, dan waktu
(c) Tingkat gangguan
(d) Kemampuan untuk koperasi vs resistensi
(e) Tingkat guardedness atau kecurigaan
(f) Tingkat agitasi atau permusuhan
3) Speech
(rate, nada, kefasihan)
Apakah bicara pasien ditandai
dengan salah satu dari berikut?
(a) Sturred,
gagap
(b) Peningkatan,
Ioud
(c) Penurunan,
lembut
(d) Ditekan
(e) Mood
and Affect
Apakah suasana hati pasien ditandai dengan salah satu dari berikut?
(a) Tertekan
(b) Euphoric
(c) Manic
(d) labil
(e) Cemas
(f) Membenci
4) Cognition
and thought control
Evaluasi apakah pasien memiliki karakteristik sebagai berikut:
(a) Penurunan
Intelectual
(b) Berpikir
teratur
(c) Flight
of ideas
(d) Pelonggaran
asosiasi
(e) Pemikiran
tangensial
(f) Blocking
(g) Delusi
(h) Disorientasi
(i) Halusinasi
5) Insight
and judgment
Apakah pasien memiliki salah satu dari berikut ini?
(a) Pemahaman
tentang masalah dan perlunya bantuan atau pengobatan (wawasan)
(b) Kemampuan
untuk membuat keputusan (penghakiman)
6)
General
Management Techniques
(a) Identifikasi gejala umum dan tingkat
keparahan
Dengan
cepat mengidentifikasi sifat umum dan tingkat keparahan masalah yang yang
ditampilkan. Seringkali perawat emergensi harus bergantung pada keluarga pasien
atau teman-teman untuk informasi ini. Perawat emergensi harus mengajukan
pertanyaan dengan beberapa kunci tertentu , yaitu :
(1) Mengapa pasien datang untuk bantuan
sekarang ?
(2) Apakah
pasien membahayakan dirinya sendiri atau orang lain ?
(3) Apa
kejadian yang mengarah ke kondisi ini ?
(4) Apakah
ada beberapa peristiwa atau hal yang memicunya ?
(5) Siapa
yang membawa pasien?
(6) Apakah
pasien harapkan dari kunjungan ini ?
(7) Obat
apa yang sedang dikonsumsi pasien ?
Selama wawancara pasien,
lakukan hal berikut :
(f) Tetapkan
batas tegas
(g) Tampil
tenang dan tidak menghakimi
(h) Dorong
pasien untuk tetap focus
(i) Pastikan
bahwa bantuan sangat dibutuhkan dan
pasien akan menjadi berbahaya secara fisik
(j) Jangan
biarkan pasien untuk datang antara perawat dan pintu
(k) Cobalah
untuk menurunkan tingkat kecemasan pasien
(l) Jangan
berdebat dengan pasien atau mencoba untuk berbicara dari bagaimana perasaan
mereka
(m) Memberikan
penjelasan yang jelas kepada pasien
(n) Bersikaplah
jujur tentang rencana
terapi
7)
Pendekatan
secara umum pada pasien dengan gangguan mental
Individu
dengan psikiatri emergensi mungkin mengalami penurunan dalam mengontrol diri
sendiri dan melakukan kontak dengan dunia luar secara realita. Perhatian yang
paling utama pada pelayanan emergensi tidak spesifik pada penyebab atau
penampilan luar tetapi lebih pada evaluasi tingkat disfungsi dan hilangnya
secara luas kontak dengan realita. Treatmen melibatkan terapi yang segera untuk
mengurangi distres akut dan membantu pasien menciptakan kembali sebuah pikiran
dalam mengontrol diri sendiri. Untuk mencapai keadaan ini, dapat dilakukan
dengan pelayanan yang lebih ekstensif.
Beberapa
hal yang dapat dilakukan pada pasien pasien yang mengalami gagguan mental,
yaitu :
a)
Menciptakan
hubungan yang baik
b)
Gunakan
kontak mata.
c)
Rileks
ketika berhadapan dengan pasien
d)
Biarkan
pasien mengetahui tentang pelayanan yang diberikan kepada pasien sebagai
perseorangan
e)
Mendengarkan
dengan baik yang disampaikan pasien, tetapi dengan lemah lembut/perlahan
mengalihkan perhatian percakapan pada fokus wawancara.
f)
Menciptakan
chief complaint
(1) Apakah pasien bertanya?
(2) Mengapa pasien bertanya untuk waktu
ini?
(3) Apakah waktu pertemuan ini dipercepat?
(4) Apakah waktu pertemuan yang akan
dating dipercepat?
(5) Apakah dibantu pada pertemuan yang
akan datang?
g)
Bicara
dengan jelas dan tanpa menggunakan bahasa khusus.
h)
Mengenali
pasien yang mengalami kemunduran. Dorong kemandirian dan partisipasi dalam pengambilan
keputusan kapanpun.
i)
Bersikap
jujur
j)
Selalu
menjaga perilaku dan jelas
k)
Antisipasi
adanya perubahan emosional (seperti marah, menangis dan sedih)
l)
Menjelaskan
prosedur kepada pasien
m) Bersikap serius pada pasien
n)
Validasi
perasaan pasien
o)
Jangan
terhesa-gesa memberikan pertanyaan untuk membantu mengenali perasaan pasien
p)
Jangan
takut mengakui ketidaktahuan
q)
Libatkan
keluarga atau pasien atau yang lainnya secara signifikan.
Terdapat 2 penyebab utama yang memicu PTSD yaitu dari
aspek biologis dan psikososial. Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi
karena terdapat gangguan di otak, khususnya bagian memori yang kejadian trumatisnya terus berulang-ulang.
Memori tersebut bila dilahat secara anatomi terdapat hipokampus dan amigdala
yang terjadi gangguan (Schiraldi, 2009). Selain itu pada penderita PTSD juga
mengalami derajat hormon stress yang tidak normal. Penelitian menunjukkan bahwa
individu dengan PTSD memiliki hormn kortisol yang rendah jika dibandingan
dengan pasien yang normal dan hormn epinefrin dan norepinefrin dalam jumlah
yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormon tersebut berperan penting dalam
menciptakan respon “flight or fight terhadap situasi stres (PTSD support
service, 2009). Penyebab yang kedua dar sspek psikosial yaitu pengalaman hidup yang dialami oleh
seserang sepanjang hidupnya juga merupakan salah satu penyebab terjadinya PTSD.
Pengalaman hidup ini mencangkup pengalaman yang dialami dari masa kecil samapi
dengan dewasa. Selain pengalaman hidup yang dialami, jumlah dan tingkat keparahan peristiwa traumatik
yang dialami oleh individu tersebut juga memberikan pengaruh (Mayo Clinic,
2009). Smith dan Segal (2005) menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat
mengarah kepada munculnya PTSD termasuk perang, pemerkosaa, bencana alam, kecelakaan mobil, penculikan, penyerangan
fisik, penyiksaan seksual/ fisik, prosedur medikal terutama pada anak-anak.
Ada 3 kelompok tanda dan gejala PTSD berdasarkan APA
(2000), yaitu :
a. Merasakan
kembali peristiwa traumatik tersebut (re-experiencing symptoms)
Merasakan kembali kejadian traumatis dalam berbgai
cara dan hal ini terjadi terus menerus dan menetap. Menurut yehuda (2002),
bahwa tanda dan gejala pada kelompoj ini merupakan perwujudan dari kenangan
tentang insiden yang tidak diinginkan, muncul dalam bentuk bayangan atau
imajinasi yang mengganggu, mimpi buruk dan kilas balik. Tanda dan gejala yang
timbul adalah:
1) Secara
berkelanjutan memiliki pikiran atau ingatan yang tidak menyenangkan mengenai
peristiwa traumatik.
2) Mengalami
mimpi buruk yang terus menerus berulang.
3) Bertindak
atau merasakan seakan-akan peristiwa traumatik tersebut akan berulang kembali
(flasback).
4) Memiliki
perasaan menderita yang kuat ketika teringat kembali peristiwa traumatik
tersebut.
5) Terjadi
respok fisikal, seperti jantung berdetang kencang atau berkeringat ketika
teringat akan peristiwa traumatik.
b. Menghindari
(avoding symptoms)
Tanda dan gejala PTSD menurut kelompk ini meliputi
penurunan respon individu secara umum dan perilaku menghindar yang menetap
terhadap segala hal yang mengingatkan klien terhadap trauma. Tanda dan gejala
pada kelompok ini adalah:
1) Berusaha
kerasa untuk menghindari pikiran, perasaan, atau pembicaraan mengenai peristiwa
traumatik.
2) Berusaha
menghindari tempat atau orang-orang yang dapat mengingatkan kembali akan
peristiwa traumatik.
3) Sulit
untuk mengingat kembli bagian penting dari peristiwa traumati.
4) Kehilangan
ketertarikan atas aktifitas positif yang penting.
5) Merasakan
seakan-akan hidup anda seperti terputus ditengah-tengah anda tidka berharap
untuk dapat kembali mengalami hidup dengan normal, emnikah, dan memiliki akris
c. Waspada
(hyper-arousal symptoms).
Individu yang menderita PTSD akan mengalami
peningkatan pada mekanisme fisilgis tubuh, yang akan timbul pada saat tubuh
sedang istirahat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari reaksi yang berlebihan
terhadapt stresor baik secara langsung atau tidak yang merupakan lanjutan atau
sisa-sisa dari trauma yang dirasakan. Tanda dan gejala pada kelompok ini
adalah:
1) Sulit
untuk tidur atau tidur tapi dengan gelisah
2) Mudah/
lekas marah atau meledak=ledak
3) Memiliki
kesulitan untuk berkonsentrais
4) Selalu
merasa seperti diawasi atau merasa seakan-akan bahaya mengincar di setiap
sudut.
5) Menjadi
gelisah tidak tenang atau mudah terpicu/ sangat waspada.
Seorang dikatakan menderita PTSD jika memebuhi
kriteria berikut ini dalam waktu minimal 1 bulan (NIMH, 2009, APA, 2000):
1) Mengalami
kejadian atau peristiwa traumatis
2) Minimal
memiliki 1 tanda re-experiencing symptoms
3) Minimal
memiliki 3 tanda avoding symptoms
4) Minimal
memiliki 2 tanda hyper-arousal smptoms.
5) Tanda
dan gejala yang menyebabkan individu kesulitan dalam menjalani kehidupan
sehari-haru, sekolah atau bekerja, berinteraksi dengan teman, menyelesaikan
tugas-tugas penting laiannya.
Menurut APA (2000) dan Ross (1999) jenis-jenis PTSD
terbagi atas tiga, yaitu:
1) PTSD
akut
PTSD dikatakan akut tanda dan gejala PTSD berakhir
dalam kurun waktu satu bulan, sangat mempengaruhi kemampuan individu tersebut
dalam menjalankan fungsinya. Jadi rentang waktunya adalah 1-3 bulan dan jika
dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut masih merasakan tanda dan
gejala PTSD dalam skala berat, itu tandanya dia harus segera menghubungi
pelayanan kesehatan terdekat. 2) PTSD kronik, PTSD kronik timbul jika tanda dan
gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan. Jika sudah terdiagnosa dengan pTSD
ada baiknya segera menghubungi pelayanan kesehatan, karena jika tidak ada
treatment yang dilakukan makan tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. 3)
PTSD With Delayed Onset, walaupun sebenarynya tanda dan gejala PTSD muncul pada
saat setelah trauma, ada kalanya tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam
bulan bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi.
9. Penanganan untuk PTSD
PTSD merupakan salah satu dari gangguan kecemasan,
oleh karena itu tindakan untuk mengatasi PTSD hampir sama dengan cara untuk
mengatasi kecemasan, yaitu:
a. Tindakan
medis
Berdasarkan
DSM-IV, PTSD masuk pada kelompok anxiety disorder, dengan daignose medis
post-traumatic stress disorder (APA, 2000). Jenis pengobatan yang bisa
digunakan pada pengobatan PTSD menurut Ross (1999):
1) SSRI
antidepressant
Ada lima SSRI yang bisa digunakan :Zoloft
(sertraline), Paxil (paroxetine), prozac (fluoxetine), Luvox (fluvoxamine),
Celexa (citalopram).
2) Antidepresan lain yang bisa digunakan jika SSRI
antidepresan tidak efektif mengatasi PTSD atau menimbulkan efek samping, yaitu
Serzone(nefazone), dan Effexor (venlafazine).
3) Antidepresant
Trisiklik
Antidepresant Trisiklik yang bisa digunakan yaitu
imipramine, amitriptyline (Evavil).
4) Antiansietas
Benzodiazepine adalah obat yang digunakan untuk
mengurangi ansietas, biasanya digunakan untuk jangka pendek, yaitu valium
(Diazepam), Xanax (alprazolam), klonopoin (Clonazepam), dan Ativan (Lorazepam).
b. Tindakan
Keperawatan
1) Pengkajian
untuk klien dengan PTSD
Pengkajian untuk klien dengan PTSD meliputi empet
aspek yang akan bereaksi terhadap stress akibat pengalaman traumatis, yaitu
(Cook & Fontaine, 2005) :
a) Pengkajian perilaku (behavioral assessment),
yang dikaji adalah dalam keadaan yang bagaimana klien mengalami perilaku
agresif yang berlebihan, dalam keadaan yang seperti apa klien mengalami kembali
trauma yang dirasakan,bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau
aktivitas yang akan mengingatkan klien terhadap trauma, seberapa sering klien
mengalami kesulitan dalam masalah pekerjaan semenjak kejadian traumatis.
b) Pengkajian afektif (affective assessment),
berapa lama waktu dalam satu hari klien merasakan ketegangan dan perasaan ingin
cepat marah, apakah klien pernah mengalami serangan panik, perasaan bersalah
yang dialami yang berkaitan dengan trauma, tipe aktivitas yang disukai untuk
dilakukan, apa saja sumber-sumber kesenangan dalam hidup klien, hubungan yang
secara emosional terasa akrab dengan orang lain
c) Pengkajian intelektual (intellectual assessment)
yang dikaji adalah kesulitan dalam hal konsentrasi, kesulitan dalam hal memori,
berapa frekuensi dalam satu hari tentang pikiran yang berulang yang berkaitan
dengan trauma , apakah klien bisa mengontrol pikiran-pikiran berulang tersebut ,
mimpi buruk yang dialami klien, apa yang disukai klien terhadap dirinya.
d) Pengkajian sosiokultural (sociocultural assessment) yang
dikaji adalah bagaimana cara keluarga dan teman klien menyampaikan tentang
perilaku klien yang menjauh dari mereka ,pola komunikasi antara klien dengan keluarga dan teman, apa
yang terjadi jika klien kehilangan keluarganya, dan apakah klien bercerai atau
merasa terancam dengan situasi perceraian tersebut.
2) Intervensi
keperawatan
Intervensi keperawatan secara generalis menurut Wilkinson
(2007) tujuan umum pada masalah keperawatan PTSD adalah agar individu mampu
mengatasi stresor yang ada dengan semua kemampuan yang dia memiliki. Tindakan
yang bisa dilakukan adalah membantu klien mengurangi melakukan perasaan diri
atau perilaku kekerasan diri sendiri, meningkatkan kemampuan klien untuk
beradaptasi terhadap stresor, perubahan, atau ancaman yang akan ditemuinya dlam
kehidupan, mebantu dalam hal fokus terhadap kebutuhan, membantu dalam hal fokus
terhadap kebutuhan, masalah atau perasaa klien dan orang-orang terdekat untuk
meningkatkan koping, problem solving dan hubungan interpersonal, dan hubungan
interpersonal, membantu pasien memfasilitasi tingkah laku impulsif memalui
aplikasi pemecahan masalah.
c. Terapi Psikososial
Ada beberapa intervensi lanjut yang bisa diterapkan
untuk mengatasi masalag PTSD. Menurut pendapat para ahli, prakti intervensi
lanjut untuk mengatsi PTSD diantaranya: exposure therapy, trauma-fokused
cgnitive-behavioral therapy, EMDR (Eye movement desentisitation and
reprcessingg), family therapy, couples therapy, anxiety management, cognitive
behavioral tehapy, cognitive tehrapy, dan complementary adn alternative
medicine (CAM)
Baca Juga: MANAJEMEN BENCANA MENGGUNAKAN MODEL EKOLOGI
DAFTAR
PUSTAKA
Australian emergency management Institute and
Australian society for traumatic distress studies. 2004. Psychological Service
in disaster.
Dirjen Pelayanan Kesehatan DepKes RI. (1983). Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi Ke-II.
Erwina Ira. 2010. Pengaruh cognitive behavior therapy
terhadap post traumatic stress disorder pada penduduk pasca gempa dikelurhan
air tawar barat kecamatan padang utara propinsi sumatera barat. FIK program
magister keperawatan. FKUI
Evans, L., & Oehler-Stinnett, J. (2006). Children
and natural disasters: A primer for school psychologists. School Psychology
International, 27(1), 33-55.
Herrman Helen. 2012. Promoting Mental Health and
Resilience after a Disaster. Journal of Experimental and Clinical Medicine;
4(2):82-87
Liu Azhong. 2008. short DSM-IV screening scale to
detect posttraumatic stress
disorder after a natural disaster in a Chinese population. Psychiatry
Research 159; 376–381
Razali Khiaril. 2013. Religious practices in trauma
coping. Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 3, Number :
97-120
King N David. 2006. The Psychological Impact of
Natural Disasters on Children. The national children’s advocacy center.
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana Alam, Pasal 1 ayat 2.
Wahyuni Eka Sri. 2005. Perawatan mental korban pasca
tsunami. Jurnal keperawatan rufaidah sumatera utara; mei vol 1.
Widyatmoko. 2008. Sete;lah musibah. http://www.penapendidikan.com. Diakses
tanggal 23 okteober 2014.
2 comments:
Mantap...terimakasih atas info yang bermanfaat ini. Salam
terimakasih juga mas ahmadriyadi, klo boleh tau dari mana ya?
Post a Comment