Sebuah peristiwa tragis yang mirip
seperti adegan film action terjadi di Jakarta, 10 September 2013 silam. Malam
itu seorang polisi bernama Bripka Sukardi ditembak oleh kawanan tak dikenal
tepat ditengah-tengah Ibu Kota Negara Indonesia, Jakarta, seusai melaksanakan
tugas jaga malam-nya. Berita ini kemudian menjadi pemberitaan nasional di
berbagai media massa karena tempat kejadian perkara yang berada tepat di depan gedung
KPK yang tersohor. Saat itu Bripka Sukardi sedang mengawal truk bermuatan besi.
Entah dari mana secara tiba-tiba dua pengendara sepeda motor menyalip truk
tersebut dan langsung menembaki Bripka Sukardi sebanyak tiga kali. Tak ayal
Bripka Sukardi-pun langsung jatuh dari sepeda motornya (MetroTVNews, 2013).
Yang
menjadi perhatian setelahnya adalah ternyata setelah penembakan tersebut,
Bripka Sukardi masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Menurut laporan saksi
mata, korban tidak langsung tewas setelah terkena tiga tembakan di bagian dada
dan perut. Karena bantuan terlambat datang Bripka Sukardi pun mengembuskan
napas terakhir (MetroTVNews, 2013). Begitu pula laporan dari Laksoho untuk
Kompas, “Wartawan yang bertugas di
Gedung KPK, Mufti, menyatakan mendengar suara tiga tembakan dari dalam gedung
dan berlari keluar menuju tempat polisi itu terjatuh. Ia melihat polisi
terkapar bersama sepeda motornya. Dari tanda pengenal di seragam yang
dikenakan, polisi tersebut dikenali bernama Sukardi. Menurut Mufti, saat itu
korban masih bernapas” (Kompas, 2013).
Menjadi
catatan sendiri bagi kita petugas medis terutama yang bekerja di layanan
Emergency atau gawat darurat bahwa di Jakarta yang tercatat sebagai Ibu Kota
Negara Indonesia yang dianggap memiliki dukungan pelayanan kesehatan yang
terbaik ternyata tidak bisa memberikan layanan pre-hospital yang optimal atau
paling tidak standart untuk dapat menyelamatkan nyawa. Jika di Ibu Kota saja
penangananya sudah terlambat, bagaimanakah dengan yang di daerah? Bagaimanakah
dengan daerah terpencil yang puskesmas saja hanya ada satu di dalam sebuah
pulau? Atau yang memerlukan waktu berjam-jam untuk sampai ke pelayanan kesehatannya?.
Masalah ini senada dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh E Pitt dan Pusponegoro (2005). Dikatakan bahwa Sistem
Prehospital di Inonesia memang kurang optimal dan kelemahan ini terjadi hampir di
setiap aspek penanganan mulai dari kurang-nya sarana prasarana, sumber daya
petugas hingga sistem pelayanan terpadu untuk pre-hospital yang tidak berjalan
dengan semestinya. Banyak tantangan yang ada di negara yang luas, beraneka
ragam dan sedang berkembang ini. Mengorganisasi sistem prehospital pada kota
besar saja sudah cukup sulit belum lagi pada kota kecil atau bahkan daerah
terpencil (E Pitt dan Pusponegoro, 2005).
Padahal kualitas hidup penderita pasca
serangan jantung akan sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada
periode Pre Hospital Stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas
pelayanan kesehatan saja. Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang
disebut waktu emas (The Golden periode). Setiap detik sangat
berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang
tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban (Irawan,
2013).Dengan tidak adanya resusitasi cardiopulmonary
(CPR) dan atau defibrilasi listrik pada penderita henti jantung, seperti tidak
adanya aktivitas kelistrikan jantung (asistole), maka akan diikuti dengan
kematian dalam hitungan menit (Vaillancourt & Stiell, 2004).
Kenapa
masyarakat tidak mau melakukan CPR?
Terdapat beberapa alasan mengapa
masyarakat tidak mau belajar CPR. Mereka yang tidak ikut pelatihan biasanya kurang
memiliki ketertarikan, kompleksitas dari prosedur CPR, ketidakmauan menghadiri
kelas pelatihan, dan keterbetasan fisik. Seingkali pelatihan CPR sangat lama
dan tidak memberikan informasi yang relevan. Lebih lanjut, mereka yang
mengikuti pelatihan kadang gagal untuk belajar, tidak mengingat atau kurang
percaya diri atau takut untuk melakukan CPR secara benar. Survei membuktikan
bahwa beberapa peserta pelatihan takut melakukan karena tidak mau mengakibatkan
trauma lebih lanjut untuk korban. Terakhir isu untuk kemudian dimeja-hijaukan
karena mungkin salah dalam menjadi aktor penghalang sendiri (Nichol G, 2008).
Permasalahan lain adalah ketakutan akan penyakit yang dapat menular melalui
mulut ke mulut saat melakukan CPR. Di Singapura sendiri, instruktur CPR 2,7
kali lebih besar daripada orang biasa takut akan penyebaran penyakit (Fong YT,
2010).
Bagaimana
meningkatkan angka bystander CPR?
Review baru baru ini oleh Vaillancourt, Stiell dan Wells melihat pada usaha untuk
meningkatkan tingkat bystander CPR. Penulis
menyarankan bahwa masyarakat akan mau menyeleaikan pelatihan CPR apabila mereka
mengerti hasil daripada CPR dalam keadaany nyata penyelamatan nyawa. Salah satu
temuan lain adalah mereka akan lebih mau untuk melakukan CPR apabila emergency dispatcher mau memberikan arahan
kepada mereka melalui telephone. Strategi lain yang disarankana adalah untuk
memotivasi lebih banyak orang untuk mengikuti pelatihan melalui peran media
massa dan iklan tentang hasil yang didapat dari pelatihan CPR. Teknik
lain adalah dengan waktu pelatihan pada menekin dan kelas CPR dipersingkat agar
mereka yang megikuti pelatihan tidak merasa jenuh tapi tetap perlu diberikan
standart performa sebelum mereka dinyatakan lulus (Vaillancourt,
2008).
Sedangkan untuk permasalahan mouth-to-mouth ventilation yang
ditakutkan dapat menyebarkan penyakit ke penolong atau penderita, berbagai
argumen telah menyatakan bahwa masih lebih baik melakukan CPR tanpa ventilasi
daripada tidak sama sekali. Hal ini bahkan dikemukakan oleh American Heart Association sendiri sebagai
upaya untuk meingkatkan jumlah bystander CPR. Penelitian pada manusia tentang
hasil hands-only CPR ini bervariasi.
Beberapa penelitian menemukan bahwa hasilnya lebih baik daripaa CPR
konvensional (SOS-KANTO, 2007), namun beberapa mengatakan hasilnya justru lebih
buruk). Tapi semua penelitian tersebut mengatakan bahwa hands-only CPR masih lebih baik daripada tidak melakukan sama
sekali, walaupun bila dilakukan dengan teknik yang tidak standart (Van
Hoeyweghen, 1993).
Model Pelayanan Bystander CPR berbasis Komunitas
Salah satu permasalahan yang ada dalam
sistem volunteer pada managemen pre-hospital di dunia adalah masalah biaya.
Membutuhkan biaya yang besar bagi negara untuk mangatur, membiayai emergency
volunteer agar menghasilkan kinerja yang diharapkan. Sedangkan angka pasien
gawat darurat semakin meningkat setiap tahunnya sehingga sistem volunteer
dengan kendali pemerintah ini menjadi tidak efektif lagi (Chalekruaa dkk,
2011).
Managemen berbasis komunitas inilah
yang menjadi harapan. Managemen berbasis komunitas menyesuaikan dengan
perkembangan kualitas masyarakat dengan tujuan akhir untuk meningkatkan
kemampuan manusia dan juga kemampuan masyarakt lokal (Phlainoi, 2006). Masyarakat dalam komunitas nantinya akan
percaya pada kebenaran-kebenaran dalam merawat pasien gawat darurat. Mereka
akan berpegangan pada nilai nilai mereka, pengalaman mereka akan situasi gawat
darurat sebelumnya. Orang-orang ini dengan inisiatifnya sendiri menyeleksi,
mengkaji, mencocokkan dan mendefinisikan pekerjaan untuk orang yang akan mereka
pilih sebagai emergency volunteer (Chalekruaa dkk, 2011).
0 comments:
Post a Comment